Dalam setiap pertarungan jiwa yang terjadi di dalam diriku, ada satu suara yang teriakan paling keras: “Semua yang aku lakukan karena aku suka.” Dalam hidup ini, aku adalah pusat dari segala tindakan, perasaan, dan keputusan yang kuambil. Aku, sang aku, tidak peduli dengan pendapat orang lain—aku adalah aku. Suara ini menggetarkan keberadaanku, memabukkan diriku dalam lautan ego yang dalam. Dalam keegoisan ini, aku mencari keindahan; meskipun aku sadar bahwa semua yang kulakukan seringkali membuat orang lain lelah. Namun, meski begitu, aku tetap berpegang pada penegasan ini—hidupku adalah tentang aku.
Kesadaran ini muncul ketika aku mulai memperhatikan dampak dari apa yang kuperbuat. Dalam kerumunan, aku bisa merasakan tatapan mereka—beberapa penuh kebencian, lainnya penuh pengertian, tetapi banyak yang tampak lelah. Aku tahu bahwa sikapku yang suka berdrama, yang menjadikan banyak hal tampak lebih besar dari kehidupan itu sendiri, tidak selalu disukai. Namun, jika aku melepaskan semua itu, jika aku harus membuang dramaku, akankah aku tetap ada? Itulah ketakutanku yang paling mendalam: kehilangan diriku sendiri.
Dalam pencarian jati diri ini, aku menemukan kegelapan yang menyelubungi jiwa. Aku adalah manifestasi dari nihilisme, sebuah konsep yang menurut Friedrich Nietzsche, datang bagi mereka yang menyadari bahwa hidup ini tidak memiliki makna yang melekat. Seperti yang Nietzsche katakan, “Ketika kamu menari di tepi jurang, ingatlah bahwa kamu bisa terjatuh.” Ya, aku memilih cara hidup ini karena aku ingin; semunya tentang aku, dan aku mengakui dengan tegas bahwa aku adalah seorang yang egois.
Namun, di balik pengakuan ini, terdapat monster—sebuah entitas di dalam diriku yang terlahir dari ketidakpuasan. Seperti monster di film horor, ia sangat laparkan validasi dari dunia di sekitarnya. Meski dalam hatiku, aku tahu bahwa sebelum aku menginginkan validasi dari orang lain, monster ini sudah paham akan posisinya. Ia tahu bahwa semua yang aku terima tidak pernah memiliki ekspektasi berlebih. Namun, monster ini pun paham bahwa ia diberikan makanan setiap hari—disuapi oleh ego dan kebanggaan yang terus bertumbuh tanpa henti.
Setiap kali aku berlarian dari kenyataan untuk mencari cara agar semua ini menjadi tentang aku, aku menjadi tertegun. Dalam perjalanan waktu, aku semakin terjebak dalam resah dan gelisah, teriakan memberi tahu bahwa semua tentang aku ini pada akhirnya berujung hampa. Rasa-rasanya, semakin ku cari validasi, semakin aku merasakan teriakan yang mengaduh dalam jiwaku. Seolah-olah, perasaan kosong itu adalah cermin yang memantulkan wajahku, wajah monster yang benar-benar terasing dari dunia luar.
Aku kembali merenungkan: Apakah semua yang kulakukan dalam perjalanan hidup ini hanya berkisar seputar egoku? Semua ibadah yang kulakukan, apakah aku melaksanakannya tulus untuk diri sendiri, atau hanya sekadar alat untuk melindungi ego ini? Aku beribadah karena aku suka, mencintai karena aku mau, dan berbuat baik karena aku ingin. Tetapi ketika aku melangkah ke area gelap, ketika kejahatan merangkul aku, aku merasa tergerus oleh rasa bersalah. Dalam hati, aku menyesali pilihan itu; penyesalan yang tidak hanya datang dari tindakan yang salah, tetapi juga dari ketidakmampuanku untuk bertanggung jawab atas konsekuensi.
Dalam ruang yang sunyi, aku bertanya pada diriku sendiri: “Apa artinya hidup jika semuanya tentang diriku?” Dalam sosok monster ini yang terus melahap kebahagiaan dan kepuasan, aku melihat bayangan diri yang kering. Kehidupan ini tidak hanya mengajarkanku tentang cinta atau kebahagiaan, tetapi juga tentang kehilangan yang dalam dan seringkali menyakitkan. Ketika aku memperhatikan orang-orang di sekitarku, menyaksikan mereka terfokus pada pencarian makna dan tujuan yang lebih besar, aku merasa terasing, terkadang bahkan merasa seperti pembunuh yang mengenakan topeng kemanusiaan.
Melalui sudut pandang Edogawa Rampo, di mana ketegangan dan misteri selalu bermain di balik cerita hidup, aku menyadari bahwa aku kadang terjebak dalam narasi yang kulukis sendiri. Dalam narasi ini, ada sosok-sosok beruntung yang berjuang untuk menemukan kebenaran di balik ketidaktahuan dan kebodohan, dan aku adalah penulis yang tidak berdaya, terjebak dalam tulisanku sendiri. Rampo menyoroti kegelapan yang menyelimuti jiwa manusia, dan aku, sang aku, merasakannya dengan sangat dalam.
Kulitku bertambah tebal dari drama yang kulalui—drama cinta yang mengubah keindahan menjadi tragedi. Dalam momen-momen yang tampaknya manis, ada kepahitan yang mengendap. Dalam semua kesenangan ini, sering kali ada rasa sakit yang tidak tersampaikan. Aku berpura-pura bahagia ketika dalam kenyataan, hatiku berontak menuntut perhatian. Semua ini menggugah perasaan, melukiskan kesedihan dalam lukisan yang tidak berujung.
Aku kembali ke sisi gelap, introspeksi tentang mengapa aku memilih untuk menjalani hidup ini dengan cara yang sangat egois. Apakah aku benar-benar menikmati drama yang kutampilkan? Atau justru aku berusaha melarikan diri dari kenyataan yang tidak ingin kuhadapi? Dalam kerumitan hidup ini, kadang aku merasakan keindahan menyadari bahwa aku adalah aktor dalam drama ini, tetapi di saat bersamaan, aku juga terluka, ditandai oleh setiap tindakan yang salah, setiap momen yang mungkin tidak akan bisa terulang.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Albert Camus tentang absurditas dan pencarian makna dalam hidup, perjalanan hidupku terasa penuh dengan keanehan dan kesederhanaan. Pada dasarnya, manusia diciptakan untuk mencari makna, namun banyak di antara kita yang berjuang di tengah absurditas yang ada. Melalui pandangan Camus, aku memahami bahwa hidup ini penuh dengan keragaman, dan meskipun aku terjebak dalam diri sendiri, aku masih bisa menemukan keindahan di dalam kegelapan. Ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari perjalanan ini, pelajaran yang mengajarkanku bahwa tidak peduli seberapa besar egoku, aku harus berusaha menemukan arti dari apa yang kujalani.
Namun, berhadapan dengan semua ini, aku selalu kembali pada rasa takut. Takutan ini bukan hanya ketakutan akan kesakitan orang lain, tetapi aku sangat takut jika aku melepaskan diri sepenuhnya dari ego ini. Imajinasi kokoh ini, meski mungkin membuatku merasa kehilangan, tetapi juga memaksa aku untuk merangkul dan menerimanya, meski terkadang pahit. Keberadaan si monster di dalam diriku, kekuatan yang menggerakkan semua tindakan, menuntunku ke ujung jurang kehidupan ini.
Pada saat-saat aku berbuat baik, ketika aku mencintai dengan tulus, saat-saat itu menjadi cahaya yang bersinar di antara kegelapan. Aku melakukan hal-hal baik bukan hanya untuk validasi, tetapi juga sebagai pintu keluar dari ketidakpuasan yang mendera. Dalam setiap tindakan positif, aku menemukan makna. Meski dunia ini seringkali kejam dan tidak adil, aku sangat percaya bahwa kebangkitan mampu datang dari tindakan kecil yang tak terduga—dan, mungkin, hal itu adalah cara untuk menebus diri.
Namun satu pertanyaan ini tetap menghantui diriku, menghancurkan keinginan untuk bersembunyi: Apakah semua ini cukup? Apakah aku bisa terus hidup dengan jalan yang sudah kulalui, terus menerus menjadi egois? Di situlah letak dilema terbesarku—aku bertanya-tanya apakah aku cukup baik untuk mendapatkan cinta yang pantas didapatkan, tidak hanya dari orang lain, tetapi juga dari diriku sendiri.
Aku, sang aku, berada dalam labirin yang tak berujung, terjebak antara ketentuan hati dan kehilangan diri sendiri. Sebuah pertanyaan merekam diriku: “Apakah mungkin untuk mengorbankan keegoisan demi mencari kebenaran dan memberikan makna pada hidup ini?” Dalam memikirkan pertanyaan ini, aku merasa terhimpit, tetapi pada saat yang sama, ada keinginan untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan yang melingkupi.
Di tengah perjalanan ini, kekuatan muncul. Kekuatan dari ketidakpastian memberikan dorongan untuk melawan cara berpimalanku. Dalam keheningan malam, saat bintang-bintang bersinar di langit, aku berdoa, berharap agar bisa menemukan keadilan, tidak hanya bagi aku tetapi juga bagi mereka yang terdekat dalam hidupku. Selama aku terus berjuang, terus merangkul kegelapan dan menemukan sinar di baliknya, aku akan tetap bisa melangkah. Kebaikan dapat muncul dari luar atau dalam diri, dan kadang-kadang, saat berani menantang diri sendiri diajarkan dengan cara yang paling sulit.
Aku, monster yang terperangkap dalam egoku, pada akhirnya memiliki satu tujuan: untuk memberikan makna dari segala sesuatu, agar perjalananku tidak sia-sia. Dalam narasi hidupku yang penuh drama, aku ingin mengukir kisah yang tidak lagi hanya tentang aku, tetapi juga tentang bagaimana aku bisa belajar mencintai, memberikan, dan menerima keindahan di tengah semua kepedihan. Di sinilah aku berusaha untuk terus bertahan, menjadikan setiap hari berarti, meskipun aku masih terjebak dalam diri sendiri.
Satu hal yang harus kuterapkan: dalam perjalanan yang penuh badai ini, aku akan tetap berjuang. Aku akan mencari amannya pada hidup, menemukan keindahan di dalam setiap dramaku, good and bad. Keberadaanku sebagai manusia dan akulah yang memasuki petualangan untuk memahami jati diri ini. Meski di setiap langkahku, monster itu tetap bersamaku, aku berjanji untuk tidak membiarkan diriku dikuasai olehnya. Pada akhirnya, aku ingin menjadi lebih dari sekadar egois—aku ingin menjadi individu yang mampu memberikan dampak positif di dunia ini, sesuatu yang lebih besar dari kehidupan yang kutuliskan hanya untuk aku sendiri.