Ini adalah tulisanku di dalam keabsurdan dunia
Aku
adalah Kematian
Jika aku hidup hanya untuk mati, mengapa aku dibiarkan hidup? Aku selalu bertanya, untuk apa aku hidup? Untuk apa aku terus melangkah di dunia ini? Terkadang, aku begitu merindukan kematian, kematian yang bisa menenangkanku. Namun, istilah ‘mati segan, hidup tak mau’ menjadi kebingungan dalam diriku sendiri. Aku merasa seperti manusia kosong, tanpa arah, dan satu-satunya tujuan yang kuperoleh hanyalah kematian yang menungguku.

Lalu Siapa Aku?
Lalu siapa aku? Aku adalah sisa-sisa dari seseorang yang pernah percaya, pernah mencinta, dan pernah berjuang—namun kini terjebak dalam tubuh yang asing, memakai topeng demi diterima, menyembunyikan luka di balik senyum; aku adalah teka-teki yang bahkan diriku sendiri tak lagi bisa pecahkan.

Mati adalah Tujuan?
Ketika aku bertanya, ‘Tujuanku adalah kematian?’, itu bukan sekadar keputusasaan, tapi lahir dari hidup yang kujalani seperti mesin—bangun, bekerja, mengalah, dan terus berputar dalam siklus yang tak pernah kutentukan; maka wajar jika aku mulai meragukan, apakah semua ini benar-benar menuju sesuatu, atau hanya berakhir di kehampaan yang sejak awal sudah menunggu.

Kehilangan Identitas
Ketika aku bertanya, ‘Tujuanku adalah kematian?’, itu muncul dari cinta yang dulu memanusiakanku, tapi justru mengikis jati diriku; kini aku hidup sebagai bayangan dari siapa aku dulu, manusia bertopeng yang tersenyum palsu hanya untuk bertahan di dunia yang tak lagi mengenalku.

Aku adalah Monster
Ketika aku bertanya, ‘Tujuanku adalah kematian?’, itu bukan karena aku menyerah, tapi karena aku pernah menjadi pahlawan—berjuang demi kebenaran, melawan demi harapan—hingga dunia yang kubela perlahan membentukku menjadi monster; dan kini aku hanya bisa bertanya, apakah jalan ini memang selalu berakhir dengan kehilangan diriku sendiri?
Apakah Aku berguna untuk tetap hidup?
Aku adalah seorang pria yang sering bertanya, ‘Apakah aku berguna untuk tetap hidup?’ Ketika semuanya seolah membenciku, aku merasa itu adalah tanda bahwa aku tidak layak untuk bertahan. Apakah aku memang tak pantas untuk hidup? Aku sering kali berjalan dalam dunia yang gelap, sendirian dan kesepian, membawa api kecil yang seharusnya memberiku semangat, tetapi sering kali justru membakar diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa mengendalikannya? Apakah aku harus terus begini? Apakah aku layak untuk hidup? Semua alasanku untuk bertahan justru membawaku pada kehancuran diriku sendiri. Aku mati dalam tusukan kesendirian, dan aku… siapa aku?


Apakah Aku berguna untuk tetap hidup?
Aku hanya mencari jalan di mana aku bisa berjalan dan diterima, dengan sikapku, bukan terus-terusan memakai topeng, aku yang marah, aku yang sedih, dan aku yang begitu mencintai dunia. Namun ketika dunia itu datang padaku, dan aku berpikir untuk terus hidup dan mencoba menerima dunia itu, entah kenapa dunia itu meninggalkanku, aku seperti hanya seonggok daging yang berjalan di muka bumi tiada arti dan hanya kesesendirian saja yang bisa menemaniku. Lalu apa alasaku untuk hidup?
Di tengah keramaian, aku merasa seolah terjebak dalam kesunyian, hanya ada aku dan suara hati yang bergema di dalam pikiran.

Sendirian
Hanya Aku dan Diriku
Kesepian, aku menyadari bahwa meskipun dunia di sekelilingku penuh warna, yang tersisa hanyalah diriku yang hampa, menghadapi kenyataan tanpa ada yang menemani.

Kesepian
Ramai Tapi Kosong
Akhir dari hidup adalah kematian, sebuah kepastian yang selalu menghantui setiap langkah kita, mengingatkan bahwa setiap detik yang berlalu adalah momen berharga yang tidak akan kembali.

Kematian
Ini adalah akhir

Sahabatku Hanya Kematian
Kematian adalah penutup dari setiap perjalanan hidup, membawa kita kembali kepada ketidakpastian yang mengisi pikiran dan jiwa, seolah menegaskan bahwa semua yang kita lalui hanyalah sehelai dari kisah yang lebih besar.