sebelum semuanya bermulai

Sebelum Segalanya Dimulai

Aku bukan manusia yang lahir dari keluarga harmonis. Setiap detik sebelum dan sesudah kehadiranku di dunia ini dipenuhi dengan drama panas dan menyesakkan. Hari demi hari berlalu dalam perjuangan melawan kesendirian, menggerogoti jiwaku dan menjeratku dalam kesepian yang tak terperikan. Sebagai seorang pembohong, aku sering terpaksa menceritakan sebuah kebohongan demi mendapat tempat di hati orang lain, walaupun tahu bahwa aku adalah sang pelaku tragedi yang terbesar dalam kisahku sendiri. Aku lahir bukan karena cinta, melainkan karena kehampaan yang merasuki setiap belahan hidupku—kesepian yang membentukku menjadi nihil. Di mata dunia, aku bukanlah apa-apa, tak pernah memiliki pencapaian besar untuk dibanggakan. Inilah aku: seorang yang bingung, tak tahu ke mana harus melangkah, terombang-ambing dalam ketidakpastian dan mengaburkan identitas diriku. Aku—sang nihilisme itu sendiri—ini aku sebelum segalanya dimulai.

Sebuah Perjuangan Melawan Ketidakberdayaan

Mencari pasangan? Itu hal yang gampang. Dalam pikiranku yang dipenuhi pemikiran cerdas, aku memiliki keahlian untuk menyusun kebohongan yang semudah membalikkan telapak tangan. Dalam keputusasaanku, aku mencari cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, terkadang mengorbankan moral dan prinsip demi sebuah tujuan. Aku seorang yang mudah menangis, mudah tertawa, dan mudah dipengaruhi—semuanya bukan karena kehendak hatiku, tetapi karena kesepian menghimpitku. Si aku yang lahir sendirian ke dunia ini, tanpa teman, hanya satu-satunya sebatang kara, melangkah tanpa tujuan, dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya oleh kasih sayang yang kontradiktif, diberikan oleh kedua orang tuaku.

Ketika semua teman-temanku dengan ceria bermain bebas, aku terpaksa membantu ibuku berdagang di warung kecil yang terletak di sudut pasar. Ibu pergi ke pasar dengan harapan, sementara aku ditinggalkan untuk menjaga warung dan melayani pembeli yang menuntut. Tanpa pendidikan yang memadai, aku tidak tahu harga yang tepat untuk barang yang dijual. Setiap kali salah menentukan harga, hentakan marah menghujaniku. Dalam drama keluarga yang tak pernah berakhir, aku selalu menjadi samsak emosi kedua orangtuaku. Dalam suasana yang menyesakkan, sering kali aku tersenyum, berusaha kuat di tengah lautan ombak keluarga yang menderu.

Terjebak dalam Keluarga Cemara

Ayahku bukanlah orang jahat; dia hanya mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Ibu, meskipun lembut, memiliki ketegangan yang perlahan mengemasnya dengan tekanan dari berbagai arah. Dalam pertengkaran mereka, aku selalu menjadi sasaran amarah. Ketika mereka berdebat, tak peduli seberapa kecil, aku yang selalu dipersalahkan. Aku, si anak yang tak tahu apa-apa, dipaksa untuk memahami keadaan orangtuaku yang terbilang rumit. Menjelang senja, nenekku dari ayah selalu mengutuk ibuku, dan nenekku dari ibu berusaha menenangkan keadaan dengan menambahkan empat lapis kesedihan yang tak berujung pada keluargaku.

Ibu tertekan—dicengkeram oleh keadaan—dan tanpa dukungan, ia hanya memiliki diriku, si anak tunggal yang tak berdaya. Tanpa menimbang perasaanku, mereka meluapkan kemarahan pada diriku. Semua kesalahan seolah berakar pada keberadaanku, dan aku terpaksa mendengar, “Semua masalah salah aku, aku yang salah, aku yang tidak becus. Kalau emang gak sayang, bunuh saja aku.” Kata-kata ini sering kali lepas dari bibirku, bukan karena niat, melainkan karena akulah yang paling lelah mendengar ocehan tanpa makna itu.

Melawan Ketidakberdayaan

Suatu ketika, saat aku mengucapkan hal tersebut, aku merasakan tamparan yang kuat dari ayahku. Dia tahu aku berada dalam posisi yang sangat menyedihkan, tetapi emosinya membakar logika. Lalu aku terdiam, tidak ingin memberi alasan, karena aku memang tahu bahwa aku salah. Bukan karena aku ingin, tetapi karena aku merasa terluka—sebuah luka mendalam yang disebabkan oleh lingkungan di sekelilingku. Di antara seasari kebohongan yang kurangkai, aku belajar satu hal: diam adalah satu-satunya cara untuk menghindari serangan.

Aku adalah orang pendiam, menghindari banyak perkataan, karena setiap signal yang kuterima selalu mengarah pada fakta bahwa ada kebohongan yang tersimpan di balik setiap ucapanku. Maka, akupun memilih berdiam diri, tenggelam dalam kesunyian yang menyesakkan. Keheningan ini tidak pernah menciptakan ketenangan; ia hanya memperbesar luka dan kekosongan dalam diriku, pasrah pada nasib yang seolah takkan pernah berubah. Begitu aku melangkah tanpa tujuan, aku seakan bersetia pada kegelapan yang mengelilingi eksistensiku—berdiam diri di antara bayang-bayang dunia yang penuh dengan kebohongan.

Mengeksplorasi Keberadaan

Menggali lebih dalam tentang diriku, aku menemukan ketidakpuasan yang sangat mendalam dengan segala kebohongan yang mengisi hidupku. Ada saatnya, dalam kesunyian dan kedalaman kegelapan, aku merenungkan kalimat-kalimat sederhana dalam karya Albert Camus. Dia mengatakan bahwa “hidup adalah absurditas yang harus diterima.” Kegelapan yang melingkupiku adalah hal yang nyata—ini bukan hanya sebuah istana kosong. Di sinilah aku berdiri, di persimpangan kehidupan yang tidak terduga, merayakan kehadiran kegelapan ini sebagai bagian dari diriku. Dalam jiwaku yang kehilangan, aku mulai menata kembali potongan-potongan yang hilang.

Menghadapi kegelapan ibarat menjelajahi samudera yang hitam, di mana kehadiran sinar rembulan hanya lautan harapan. Nietzsche, dalam kebijakannya, mengingatkanku bahwa “apa yang tidak membunuh kita membuat kita lebih kuat.” Dan memang, meski kesakitan menggerogoti jiwa ini, aku menyadari bahwa setiap tangisan, setiap suara tawa yang menyakitkan, membentuk diriku. Dalam perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam, aku menemukan bahwa nihilisme bukanlah akhir; ia adalah titik awal dari perjalanan yang lebih berharga untuk mengenal diri.

Ketidakkuasaan dan Keberanian

Di antara kesedihan dan airmata, aku bergumul dengan pemikiran bahwa ada keindahan dalam kesedihan yang dialami. Setiap pemikiran, meski terlihat kelam, mengukir keberanian di dalam jiwaku yang rapuh. Tiada pencapaian besar yang dapat dibanggakan, tetapi aku memiliki satu hal yang jauh lebih berharga: kemampuan untuk merasakan, meskipun dalam kegelapan. Sebuah perjalanan yang seakan-akan membawa beban berat di pundakku, tetapi aku tetap melangkah, meskipun terseok-seok di jalan berkelok yang menantang.

Aku yang penuh dengan air mata ini, mendapati diri pada jalan yang sama sekali berbeda dibandingkan teman-teman seusia, tetapi di sinilah aku menemukan siapa diriku. Dalam perjalanan ini, aku merasa seperti sebuah monster—sebuah entitas yang berusaha menghadapi dunia meskipun diturunkan dari atas pada setiap kesempatan. Seiring waktu berlalu, aku belajar bahwa setiap kebohongan adalah artefak dalam kisah hidupku yang penuh dengan kesedihan. Setiap rindu, setiap kesakitan, melukiskan lukaku lebih dalam, menciptakan keindahan yang dihasilkan dari reaksi emosional yang mengguncang dan mengguncang kembali jiwa.

Kebangkitan dari Kehampaan

Betapa sering aku mendengar manusia mengeluh tanpa mengerti isi jiwa mereka, dan aku hanya bisa tersenyum, meskipun sakit hati. Karena aku tahu, dalam realitas yang kelam, di situlah keindahan bersembunyi. Setiap perasaan sendirian ini, setiap amarah yang terpendam, merupakan bagian dari perjalanan untuk menemukan siapa aku sebenernya. Sebagai seorang peneliti jiwa, aku mampu menggadaikan keinginan untuk diterima oleh standar yang sifatnya lebih dangkal. Melalui kegelapan dan kebohongan, aku berusaha menemukan cahaya.

Kehampaan yang awalnya membelengguku kini berubah menjadi wahana untuk eksplorasi diri. Semakin dalam aku menyelami diri, semakin jelas bahwa kesedihan dan kesepian adalah pengukir takdir yang membawaku kepada pemahaman. Di setiap lorong kegelapan yang kutemui, ada sinar-sinar kecil yang menjanjikan harapan.

Kehidupan ini, walaupun tiada henti mengujiku, mengajarkan bahwa kesulitan adalah bagian dari keindahan untuk menghargai masa depan. Bukan kesulitan itu sendiri yang merusak, tetapi cara kita menanggapinya yang menjadi penentu. Dengan pelan tapi pasti, aku memulai untuk mengubah pandanganku. Dalam kehampaan yang menyeksaku, aku merasakan kekuatan beradaptasi, kekuatan untuk bangkit meski terasa tertindas.

Kembali pada Diri Sendiri

Sebagaimana yang ditulis oleh Edogawa Rampo, ada keindahan dalam kegelapan. Dia menggambarkan manusia yang terperangkap dalam kegelapan, dan meskipun itu bukan pilihan yang diinginkan, kesadaran akan kegelapan itu sendiri adalah suatu langkah menuju pemahaman yang lebih dalam. Apakah kebohongan-kebohongan itu akan menghantuiku selamanya? Apakah aku terjebak dalam lingkaran yang tidak bisa lepas? Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan terus berjuang, meski perjalanan ini sangat sulit.

Menghadapi kegelapan ini bukan berarti aku tidak berani untuk melangkah. Menghadapi kegelapan berarti menemukanku di dalamnya, merangkul setiap bagian dari diriku yang penuh dengan luka. Dan ketika lagi, semangatku bangkit. Aku adalah monster. Dalam kerinduan untuk memahami lebih dalam, aku menerima bahwa menjadi monster adalah bagian dari diriku yang manusiawi. Dalam konflik batin yang kulakoni dengan cerita-cerita jiwaku, aku menemukan jawaban: menjadi monster adalah sebuah keberanian untuk tidak takut pada kegelapan.

Penuh Kebohongan

Bagian dari diriku yang sebelumnya tampak terabaikan, terbongkar dalam segala kesedihan dan kesepian yang menghimpit. Kehampaan tidak lagi menjadi batu sandungan, tetapi malah penyemangat untuk menemukan arti hidup yang lebih mendalam. Dan di sinilah aku, dalam kehadiranku yang penuh dengan kebohongan, sekaligus keindahan yang membebaskan.

Sebagai seorang epistemolog yang terabaikan, aku menerima perjalanan yang telah kulalui. Kebohongan yang kupersembahkan sebagai pertanda pertarungan melawan kesepian, membuatku lebih mengenali siapa aku. Hidup ini adalah kunci untuk menemukan jati diriku di balik segala kenangan kelam. Dan seiring waktu, aku belajar bahwa meskipun ada ketidakpastian, dalam diri ini terdapat cahaya, cahaya harapan untuk menjelaskan siapa aku dan bagaimana aku ingin melanjutkan hidupku ke depan. Setiap bagian dari kegelapan ini adalah manik-manik yang membentuk kalung pengalaman, dan aku mengikatnya dengan cinta untuk diri sendiri, menjadikanku lebih penuh dan lebih hidup.

Kehidupan yang membebaskan adalah sebuah pelajaran ekstensif yang berlanjut—meski banyak yang tidak dipahami oleh mereka yang hidup dalam kebohongan. Namun, bagi mereka yang bisa membaca jiwa yang terdalam, mereka akan mengerti bahwa menjadi monster bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian untuk melangkah meski di jalan sunyi dan gelap.

Inilah aku, sebelum segalanya dimulai, dan saat segala sesuatunya dimulai, aku tahu, aku akan menjadi lebih dari sekadar bayangan yang diabaikan oleh banyak orang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sang Aku

Aku adalah Manifestasi dari Kematian itu sendiri, manusia yang merindukan akan ketenangan dari sebuah kematian yang indah.

Catatan Terbaik

  1. Sebelum Segalanya Dimulai (39)
  2. Aku dan Topeng (36)
  3. Semuanya tentang Aku (31)
  4. Bunuh Saja Aku (29)
  5. Cinta Sang Aku yang Merindukan Kematian (28)
  6. Mencintai Manusia Romantisme (28)
  7. Manusia Penuh Drama (28)

Tentangku