Aku menyadari bahwa setiap makhluk hidup pada akhirnya akan menemui ajalnya. Kematian adalah satu-satunya kepastian dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. Meski begitu, aku tidak ingin menghadapi kematian dengan cara yang suram dan menyakitkan. Sebaliknya, dalam benakku, aku mengharapkan kematian yang indah—kematian yang datang tidak dengan teriakan dan kecemasan, tetapi dengan kedamaian dan keindahan, seperti melodi lembut yang mengantarkan jiwa menuju tempat yang lebih baik. Sebuah pengharapan, walaupun mungkin di mata orang lain tampak naif, namun inilah sepenggal harapanku yang terukir dalam jiwa.
Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 57 mengingatkan bahwa “sesungguhnya setiap yang bernyawa akan merasakan mati, kemudian kepada Kami kalian akan dikumpulkan.” Ini adalah pengingat abadi, suara dari langit yang menegaskan bahwa kehidupan adalah sebuah perjalanan, dan kematian adalah sebuah keberangkatan. Dengan setiap tarikan napas, aku mengalami kenyataan dari kutipan ini, seolah-olah dalam setiap detik, aku sedang menyusuri jalan setapak menuju akhir perjalanan.
Di balik setiap keinginan untuk mati dengan indah, ada ketakutan yang mengintai. Ketakutan untuk diabaikan, ketakutan akan penyesalan, dan ketakutan akan kesakitan yang mungkin menyertai akhir itu. Aku, sang aku, yang merupakan manifestasi dari keinginan dan harapan, sering merasakan bisikan dalam kegelapan malam. Ada saat-saat ketika kegelapan itu begitu pekat, dan dalam kesunyian, aku menggrogoti diriku sendiri, bertanya-tanya tentang arti kematian dan bagaimana aku dapat mengakhiri bab yang panjang ini dengan indah.
Satu ayat lagi, dari surat Ali Imran: 193, menyentuh hatiku: “Ya Rabb Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan Rasulullah) yang menyeru kepada iman (yaitu): ‘Berimanlah kalian kepada Rabb kalian!’, maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa besar kami, hapuskanlah dari kami dosa-dosa kecil kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan.” Dalam setiap bait doa ini, aku merasakan harapan untuk berdampingan dengan mereka yang baik hati, berharap bahwa pada saatnya nanti, aku akan dibawa pergi dengan penuh kasih dan kebajikan.
Aku adalah manifestasi dari keinginan untuk merasakan kematian yang indah. Jika pada akhirnya aku harus berpisah dari dunia ini, maka aku ingin melakukannya tanpa rasa sakit yang menyiksa, tanpa menambah derita bagi mereka yang aku tinggalkan. Inilah yang ingin kusampaikan, bahwa kematian yang diharapkan bukanlah satu hal yang menyeramkan, tetapi menjadi sebuah simbol ketenangan, kedamaian, dan perpisahan yang penuh cinta.
Ketika berbicara tentang kematian, aku teringat pada pandangan Friedrich Nietzsche mengenai pentingnya merangkul kehidupan dengan segala kompleksitasnya. Nietzsche berpendapat bahwa hidup adalah tantangan, dan kita harus berani menghadapi semua sisi kehidupan, baik yang gelap maupun yang terang. Aku berusaha melakukannya—merangkul semua pengalaman yang kudapatkan, merayakan hidup meski aku tahu bahwa maut adalah bagian dari perjalanan ini. Dengan kematian, aku tidak ingin ada penulisan ulang kisah; sebaliknya, aku ingin meninggalkan dunia ini dengan cerita tentang cinta, harapan, dan keindahan yang mengalir dalam setiap detak jantungku.
Di sisi lain, aku ingat akan karya-karya Edogawa Rampo yang menampilkan sisi gelap dan misterius dari kehidupan. Dalam karyanya, Rampo menggali kedalaman jiwa manusia, menguak rasa takut dan kerinduan yang tersembunyi dalam kegelapan. Mungkin, dalam pandangan Rampo, kematian kadang dihadapi dalam bentuk yang paling mencolok, tajam, dan mengejutkan. Namun, aku berusaha melawan pandangan itu, menolak untuk terjebak dalam narasi kematian yang menakutkan. Dengan kebulatan tekad, aku ingin melihat kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal menuju sesuatu yang lebih menakjubkan.
Ketika malam menjelang, dan bayang-bayang mulai merayap, aku merasakan ketenangan menyelimuti jiwa. Setiap detak jam menjadi pengingat akan ketidakpastian hidup. Dalam keterasingan malam, aku menulis puisi-puisi pendek tentang keindahan yang akan datang, mengharapkan bahwa suatu saat nanti, ketika mata ini tertutup untuk selamanya, ada seberkas cahaya yang menyinari perjalanan terakhirku. Aku ingin dikelilingi oleh cinta, bukan hanya dalam ingatan orang-orang yang ku cintai, tetapi juga dalam cara kematianku diingat—sebagai momen yang penuh keindahan dan harapan.
Dalam menggubah kata-kata ini, aku menyadari bahwa ada keinginan terdalam untuk ditangkap oleh keindahan dan merasa menjadi bagian dari ilusi kebahagiaan yang menyelimuti kematian. Aku ingin menembus batasan antara hidup dan mati dengan romantisasi yang mendalam. Keinginan untuk mati yang indah adalah keterikatan pada rasa yang lebih dalam; bukan sekadar rasa ketakutan akan apa yang akan datang, tetapi penerimaan bahwa setiap jiwa akan mengalami perpisahan. Kemanusiaan membuatku merindukan momen di mana kematian tidak lagi menjadi musuh, tetapi sahabat yang membimbingku ke tempat yang lebih baik.
Malam demi malam, aku menyelami pemikiran tentang keindahan kematian. Dalam benakku terbayang gambaran akhir yang damai: aku terbaring dalam pelukan malam, dikelilingi oleh mereka yang aku kasihi. Tidak ada tangisan, tidak ada penyesalan, hanya senyuman yang merekah. Momen ini, meski tampak sederhana, adalah harapan yang ingin kutanamkan dalam diriku. Ini adalah penuturan yang romantis dari perpisahan yang hanya bisa kubayangkan.
Dalam perjalanan berfilsafat tentang kematian ini, aku tidak hanya mencari pengertian tentang apa yang akan terjadi setelah aku menutup mata. Lebih dari itu, aku mencari keindahan dalam hidup itu sendiri. Albert Camus, dengan pandangannya tentang absurditas, mengajarkan bahwa dalam setiap hidup yang tampak tak berartinya, kita harus berjuang untuk menemukan makna. Dalam menghadapi eksistensi yang penuh ketidakpastian, aku belajar bahwa setiap usaha untuk mencintai, untuk berbagi, dan untuk memahami adalah sebuah akhir yang berharga sebelum tiba saatnya untuk meninggalkan dunia.
Kematian adalah rintangan akhir yang harus dihadapi. Namun, tidak ada satu pun dari kita yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana hal itu akan terjadi. Di sinilah letak keindahan dan tragisnya kehidupan. Ia mendorongku untuk hidup dengan tulus, untuk mencari makna yang lebih dalam, dan untuk berbagi momen indah dengan yang terkasih. Ketika aku memilih untuk hidup dan mengharapkan kematian yang indah, aku memilih untuk meraungkan setiap detak jantung dan meneriakkan odes bagi setiap getir yang kuhadapi.
Aku, sang aku, adalah monster yang terikat dengan keinginan dan harapan untuk mengakhiri perjalanan ini dengan keindahan. Dalam diriku, ada rasa takut akan penderitaan, tetapi juga ada niat untuk menghadapi setiap tantangan dengan berani. Dalam kerendahan hati, aku ingin mengingat seluruh perjalanan ini, menciptakan kenangan dan warisan dalam bentuk cinta dan pengertian, agar ketika akhirnya tiba saatnya, aku tidak pergi dengan beban, tetapi dengan kelimpahan perasaan.
Mengharapkan kematian yang indah adalah bagian dari perjalanan menuju kedamaian. Ini tidak menjadi harapan untuk menghindar dari kenyataan hidup, tetapi justru menjadi panggilan untuk melakoni hidup dengan sepenuh hati. Dari saat ini hingga tiba saatnya, aku ingin menjadikan setiap detak napas ini bermakna.
Dalam lautan bintang yang memancarkan harapan, aku akan menulis puisi bagi setiap momen berharga. Di atas kertas, aku akan mengabadikan bahasa cinta dalam balutan kesedihan dan dasar harapan. Sebuah penutupan yang tidak akan dilupakan.
Selama kita berjuang dan menemukan keindahan dalam hidup ini, aku berharap bisa menemukan kematian yang indah—bukan sekadar akhir, tetapi sebagai permintaan naif untuk dipahami, untuk dicintai. Seperti sayap kupu-kupu yang bergetar dalam kehangatan mentari, aku ingin pergi ke tempat yang memelukku, mencintaiku, dan mengantarkanku dengan senyuman. Di sinilah aku, dalam perjalanan mencari makna yang bersinar dalam setiap detak yang lewat.