Aku menyadari bahwa hidup hanyalah sebentar. Setiap detik berlalu begitu cepat, seakan waktu tidak memberi kesempatan untuk meresapi setiap momen. Dalam pencarian sensasi tanpa batas, aku mencari kesenangan tiada akhir; berusaha mengejar sesuatu yang kukira akan membuatku merasa hidup. Namun, hal ini justru mengantarkanku pada sebuah kegelapan yang dalam, di mana kehampaan mulai menguasai diriku.
Mencari Kesenangan
Sejak kecil, kita sering diajarkan bahwa hidup adalah tentang mengejar impian dan kebahagiaan. Namun, mereka tidak mengajarkan kita bahwa dalam perjalanan menuju kebahagiaan, kita mungkin terjebak dalam pencarian kesenangan yang tidak berujung. Di usia muda, aku mulai mencari sensasi—sensasi yang kuharapkan bisa mengisi kekosongan di dalam diri. Aku melompat dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya, mencoba berbagai hal yang bisa memberi kebahagiaan sementara.
Pengalaman-pengalaman ini biasanya dimulai dari hal kecil. Saat remaja, melakukan hal-hal yang dianggap “ekstrem” oleh teman-temanku—seperti menaiki roller coaster tertinggi atau melakukan perjalanan tanpa rencana—merasa seperti cara yang ampuh untuk hidup. Namun, setiap pengalaman ini hanya memberikan kebahagiaan sesaat. Setelah itu, perasaan kosong kembali datang mengisi dadaku. Dalam pencarian untuk mengisi jurang kehampaan itu, aku mulai melangkah ke wilayah yang lebih gelap.
Ketika Sensasi menjadi Menakutkan
Kejadian-kejadian paling menakutkan adalah yang sangat mungkin terjadi setelah kegembiraan. Aku terjebak dalam siklus di mana aku mulai mencari sensasi melalui perilaku yang berisiko. Aku mulai menghadapi bahaya dengan cara yang tidak sehat. Misalnya, aku terlibat dalam kegiatan yang sangat berbahaya—seperti balap mobil di jalan raya—yang sangat berisiko baik bagi diriku maupun orang lain. Namun, dalam perjalanan itu, aku merasa hidup, seolah semua rasa kosong itu tertutupi oleh adrenalin yang mengalir dalam darahku.
Namun, tidak lama setelah itu, rasa puas itu hilang. Dalam keadaan kesadaran yang penuh, aku sering bertanya, “Apa yang terjadi kalau aku kehilangan segalanya dalam pencarian ini?” Saat itulah aku mulai merasakan kegelapan yang menggigit—perasaan hampa yang tidak terhindarkan.
Dazai Osamu dan Pandangan Nihilisme
Pengalaman mengejar sensasi ini mengingatkanku pada Dazai Osamu, seorang penulis Jepang terkenal yang sering mencurahkan kegundahan dan kehampaan dalam karyanya. Dalam novel “No Longer Human,” Dazai menggambarkan betapa pahitnya perasaannya terhadap dunia dan diri sendiri. Dia berjuang dengan perasaan tidak berarti dan kehampaan yang menyiksanya. Keterasingan dan kehilangan yang dia rasakan membuatku merenungkan kehidupanku.
Dazai seolah berbicara langsung kepadaku ketika ia mengisahkan betapa ia merindukan kematian, bukan sekadar untuk mengakhiri hidupnya, tetapi untuk melarikan diri dari rasa sakit yang terus menghantuinya. Dalam pandangan Dazai, kematian adalah solusi, dan kebanyakan karyanya menggambarkan keputusasaan yang mendalam. Hal ini membawaku untuk berpikir, apakah pencarianku untuk sensasi juga merupakan upaya untuk melarikan diri dari rasa sakit yang sama?
Nihilisme dan Kebangkitan Pertanyaan
Nihilisme menjadi satu tema yang semakin mendekatiku. Friedrich Nietzsche juga menghadapi pertanyaan yang sama mengenai makna hidup. Baginya, hidup terasa kosong karena manusia tidak mampu menemukan nilai dalam dunia yang seringkali tampak acak dan keras. Ketidakmampuan untuk menemukan makna menjadi sumber dari kesedihan dan ketidakpuasan yang mendalam. Saat aku menyadari hal ini, aku makin tahu mengapa pencarian aku akan sensasi tidak akan pernah terpuaskan.
Dengan mempelajari nihilisme, aku menemukan banyak ungkapan yang menggambarkan kehampaan. Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how.” Tanpa tujuan itu, semua yang kita lakukan tampak sia-sia. Ini adalah pernyataan yang seakan bergetar di dalam diriku—aku merasa terjebak dalam rutinitas, mencari kesenangan dan sensasi tetapi tanpa arah yang jelas.
Kehampaan dalam Cinta dan Pekerjaan
Salah satu aspek lain dari kehidupanku yang terpengaruh oleh pencarian sensasi adalah hubungan cintaku. Seperti halnya pengalaman lainnya, aku terperangkap dalam pola yang sama. Dalam setiap hubungan, aku mencari kebahagiaan dan keasyikan, berharap pasangan akan bisa mengisi kehampaan yang aku rasakan. Namun, realitas yang aku hadapi jauh dari harapan.
Cinta yang kucari sering kali tidak lebih dari sekadar ilusi. Aku terlibat dalam hubungan yang intens tetapi dangkal; hubungan yang tidak memiliki kedalaman emosional yang aku inginkan. Ketika hubungan itu berakhir, aku merasa hampa kembali. Hal ini berulang berulang kali, dan aku mulai menyadari bahwa aku tidak hanya mengejar sensasi, tetapi juga melarikan diri dari rasa sepi.
Dalam pekerjaan, perasaanku tidak jauh berbeda. Aku berusaha menciptakan kesuksesan dan pengakuan. Menghabiskan malam-malam untuk bekerja keras, berharap bahwa pencapaian profesional akan memberi arti dalam hidupku. Namun, setelah mencapai beberapa tonggak, rasa puas itu cepat memudar. Kesuksesan yang dicapai ternyata hanya menambah tekanan dan kehampaan. Dalam perjalanan karierku, aku mulai merasakan keinginan untuk berhenti. Semua pencapaian ini terasa kosong ketika aku tidak merasakan kebahagiaan yang tulus.
Menghadapi Kehampaan
Di tengah semua ini, aku mulai bertanya kepada diriku sendiri: “Apa artinya semua ini?” Kehampaan yang aku rasakan semakin besar. Dalam kesunyian malam, saat semuanya terasa hening, suara hatiku mencengkeram lebih kuat. Kerinduan akan sensasi yang tak terpuaskan hanya menambah beban pada pundakku. Dalam pencarian untuk mengisi kekosongan ini, aku justru merasa semakin jauh dari diriku yang sejati.
Saat itulah aku mulai mencari cara baru untuk mengatasi kehampaan ini. Aku mulai mengingat kembali ajaran yang aku terima sebagai seorang Muslim. Tinggal dalam dua dunia—dunia spiritual dan dunia material—menuntut kita untuk menemukan keseimbangan. Mulla Shadra, seorang filosof Muslim, menekankan pentingnya memahami bahwa kita adalah perpaduan antara tubuh dan jiwa. Kematian tubuh bukanlah akhir; jiwa akan berpisah dari tubuh dan bertanggung jawab atas setiap perbuatan di dunia ini.
Tanggung Jawab dalam Hidup
Sebagai seorang Muslim, aku percaya bahwa hidup ini bukan sekadar pencarian sensasi atau kebahagiaan nafsu. Tanggung jawab atas kehidupan kita jauh lebih besar. Ketika kita sadar bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, kita akan lebih berhati-hati dalam mengejar kesenangan. Mulla Shadra memandang bahwa jiwa akan dibangkitkan dan tanggung jawab atas apa yang kita lakukan di dunia akan dihadapi di akhirat.
Ini adalah pandangan yang mengubah cara pandangku terhadap hidup. Setiap sensasi yang kuambil harus dipikirkan, bukan hanya untuk kesenangan sesaat, tetapi demi tanggung jawab yang akan harus kuhadapi. Aku mulai berusaha mencari makna dalam setiap pengalaman yang kulalui, bukan hanya untuk mencari kesenangan. Ini adalah transisi yang membawaku pada pemahaman yang lebih dalam mengenai kehidupan.
Melalui semua pengalaman pahit dan manis ini, aku mulai menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar sensasi yang tidak berujung. Menggali kedalaman diri dan memahami tanggung jawab yang mengikutinya adalah bagian penting dari perjalanan ini. Kehampaan itu mungkin tidak dapat sepenuhnya dihapuskan, tetapi bisa menjadi pengingat akan pentingnya menjalani hidup dengan kesadaran yang penuh.
Kini, aku berusaha untuk menjalani kehidupan dengan tujuan. Setiap langkah yang diambil akan berbagi rasa syukur, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarku. Kehidupan bukan tentang mengabaikan sensasi; melainkan bagaimana kita bisa mengintegrasikan semua pengalaman itu dengan makna yang lebih dalam, yang bisa memberikan kebahagiaan secara permanen dalam hati.
Ketika aku menatap ke depan, aku tidak lagi berfokus pada pencarian kesenangan maupun sensasi. Sebaliknya, aku tertuju pada pencarian makna, harapan, dan tanggung jawab. Dalam perspektif sebagai seorang Muslim, aku melihat kematian bukan sebagai akhir, melainkan sebagai pintu menuju kehidupan yang lebih berarti. Dalam semua itu, aku menemukan bahwa kepenuhan sejati tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam diri kita, yang siap untuk menerima segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab.