Aku lebih memilih wanita yang teguh. Wanita yang bisa membuatku tunduk dengan konsisten. Memarahiku dengan konsisten. Sabar dengan konsisten. Aku sadar bahwa untuk menjadi konsisten itu sangat berat, dan dalam lubuk hatiku, aku mencintai seorang wanita seperti itu karena ia adalah cermin yang memantulkan segala hal yang tidak kumiliki.
Tapi jujur saja, aku lebih mencintai drama yang kami ciptakan bersama daripada orangnya.
Aku adalah sang aku yang menginginkan cinta yang konsisten, padahal aku sendiri tidak bisa menjadi konsisten. Ironis, bukan? Seorang egois yang menuntut kesetiaan. Seorang pencinta sensasi yang mendambakan kestabilan. Pada dasarnya, aku bermula dari awalku sendiri, mencintai diriku yang egois, dan aku akan mencintainya dengan egois pula, bukan karena aku tidak mencintainya, namun karena diriku sendiri lebih penting.
Max Stirner, filsuf individualis Jerman itu, pernah menulis dalam “The Ego and Its Own”: “Apa yang baik untukmu bukan berarti baik untukku. Apa yang kau anggap sebagai kebaikan, keadilan, dan sebagainya, aku menganggapnya sebagai hal yang tidak berarti bagi diriku. Aku tidak mencari kebebasanmu, melainkan kebebebasanku.” Inilah aku. Telanjang dalam kesombongan. Haus dalam kepuasan.
Kelaparan pengakuan dalam diriku adalah monster yang tak pernah kenyang. Ia selalu menuntut lebih banyak bukti, lebih banyak perhatian, lebih banyak drama. Seakan kehidupan normal terlalu hambar untuk dinikmati. Aku butuh rasa, sensasi, konflik—yang pada akhirnya akan kembali pada resolusi dan pengakuan bahwa aku begitu berharga untuk diperjuangkan.
Ini mungkin terdengar mengerikan, tapi itulah kenyataannya. Aku terlahir dari kesendirian, tumbuh dalam isolasi, namun dihujani ekspektasi dan tekanan dari segala sisi. Aku melewati segalanya sendirian, menghadapi pengkhianat sendirian, berjalan di dunia sendirian. Siapa yang bisa menyalahkanku jika aku menjadi egois?
Nietzsche pernah berkata: “Cinta adalah keadaan di mana manusia paling mungkin melihat segala sesuatu sebagaimana mereka tidak ada.” Dan mungkin itu sebabnya aku memilih mencintai drama—karena aku bisa melihat diriku sebagaimana aku ingin ada: diperjuangkan, diutamakan, diagungkan.
Perjudian Kata-kata
Ketika amarah menguasai, lidahku menjadi pedang tak bertuan. Aku melontarkan kata-kata kejam, doa-doa buruk, sumpah serapah kepada pasangan yang seharusnya kucintai. Aku menjadi hakim yang tak adil, eksekutor yang buta. Aku menguasai panggung dengan monolog kemarahanku, memotong segala kesempatan komunikasi, menolak semua informasi, dan menjadikan diriku pusat dari segala permasalahan.
Sering aku bertanya, mengapa aku begitu kejam kepada orang yang kucintai? Jawabannya sederhana dan menyakitkan: karena aku tahu ia akan tetap di sana setelah badai reda. Karena ia konsisten. Karena ia, dalam kebijaksanaan atau kebodohannya, telah memilih untuk mencintaiku meski mengetahui monsterku.
Arthur Schopenhauer menulis: “Kita jarang memikirkan apa yang kita miliki, tetapi selalu memikirkan apa yang tidak kita miliki.” Dan dalam kelaparanku akan sensasi, aku sering lupa bahwa ia bukan hanya pemain dalam dramaku—ia adalah manusia dengan hati yang bisa terluka, dengan batas yang bisa dilewati.
Kemudian, setelah semua kata-kata tajam terlepas, datanglah penyesalan. Bukan penyesalan yang tulus untuk perubahan, tapi penyesalan egois—takut kehilangan, takut ditinggalkan, takut kehilangan panggung untuk dramaku. Aku merasa bersalah, tentu saja. Tapi lebih dari itu, aku merasa takut.
Emmanuel Levinas mungkin akan melihat ini sebagai kegagalan untuk melihat “wajah Sang Liyan”—kegagalan untuk mengenali kemanusiaan pasanganku di luar fungsinya dalam dramaku. Ia menulis: “Ketika aku menatap wajah Sang Liyan, aku melihat sesuatu yang melampaui dunia fenomenal… Aku melihat kerentanan, dan dalam kerentanan itu, aku diberikan perintah etis: Jangan membunuh.“
Tidakkah aku, dalam amarahku, telah berkali-kali “membunuh” pasanganku dengan kata-kata?
Romantisme Ego
“Sadarilah, bahwa ketika kau mencintai seseorang, kau mencintai hanya proyeksi dirimu pada mereka.” Kata-kata Carl Jung ini menghantam kesadaranku dengan keras. Apakah aku mencintai pasanganku, atau hanya mencintai peran yang kumainkan bersamanya? Mencintai bagaimana ia membuatku merasa tentang diriku sendiri?
Aku akan mencintai dirinya lebih dalam sampai kapanpun—atau setidaknya, itulah yang kukatakan pada diriku sendiri. Tapi ada ego yang terpuaskan dalam setiap interaksi kami. Aku mencari sensasi dalam cinta, bukan mencintai dengan tulus. Aku adalah monster penuh drama yang menyamar sebagai kekasih.
Jean-Paul Sartre mungkin akan melihat ini sebagai bentuk “Bad Faith”—ketidakjujuran pada diri sendiri. Pura-pura mencintai, ketika sebenarnya hanya mencintai ego. Pura-pura tulus, ketika sebenarnya hanya bermain peran.
“Manusia dikutuk untuk bebas. Begitu dilemparkan ke dalam dunia, ia bertanggung jawab atas segala yang ia lakukan,” kata Sartre. Dan dalam kebebasan ini, aku memilih jalan yang paling memuaskan ego—cinta yang memberiku panggung untuk drama, yang membuatku merasa hidup melalui intensitas emosi.
Aku tak peduli ia cantik atau tidak, selama dia bisa memenuhi egoku dan berjalan bersamaku. Mau apapun akan kulakukan untuknya, selama tidak melawan nilai diriku sendiri. Secinta apapun aku, aku tidak akan kehilangan diri sendiri—inilah mantra yang kuulang-ulang, senjata yang kugunakan untuk melindungi diri dari kerentanan sejati.
Simone de Beauvoir menulis: “Di dunia di mana kita hidup sebagai subjek-objek, segala cinta terdegradasi karena yang satu menjadi tuan dan yang lain menjadi budak.” Dalam paradigma cintaku, siapakah yang menjadi tuan? Siapakah yang menjadi budak? Atau mungkin lebih tepat—dalam hubungan ini, siapa yang menjadi sutradara, dan siapa yang menjadi aktor?
Dualitas dalam Penyesalan
Ketika kesadaran datang—saat ego mereda dan kejelasan muncul—aku merasa menyesal. Penyesalan karena telah melukai. Penyesalan karena telah menutup telinga dari informasi yang mungkin penting. Penyesalan karena menjadikan diriku pusat dari segala hal.
Namun, seperti yang dikatakan Albert Camus, “Manusia adalah makhluk yang harus menolak untuk menjadi apa yang ia tidak inginkan.” Dan inilah kontradiksi terbesarku: aku tidak ingin menjadi monster, tapi juga takut untuk sepenuhnya menjadi manusia—karena menjadi manusia berarti rentan, terbuka pada luka, terbuka pada pengkhianatan.
Aku pernah merutuki pasanganku dalam amarah, mendoakan hal-hal buruk dalam kemarahan sesaat. Kemudian, ketika badai mereda, aku merasa ngeri dengan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa mendoakan keburukan untuk orang yang kutegaskan kucintai?
Søren Kierkegaard mungkin akan melihat ini sebagai manifestasi dari “penyakit jiwa”—keterasingan dari diri sejati yang mendorong kita ke dalam tindakan-tindakan kontradiktif. “Dosa terbesar,” tulisnya, “adalah bukan keputusasaan, melainkan tidak ingin menjadi diri sendiri.“
Tapi siapakah diriku yang sejati? Sang monster egois yang haus drama, atau manusia yang merindukan kedamaian dan koneksi? Mungkin keduanya adalah bagian dariku—dualitas yang tak terpisahkan.
Egoisme dalam Penyesalan
“Egoisme bukanlah mencintai diri sendiri, tetapi kurang mencintai diri sendiri,” kata Erich Fromm. Paradoks dalam diriku: aku mengira dengan mengutamakan ego, aku telah mencintai diriku sendiri. Padahal, mungkin inilah bukti aku belum benar-benar mengenal, apalagi mencintai, diriku yang sejati.
Max Stirner, filsuf individualis yang sering disebut sebagai bapak egoisme filosofis, menegaskan: “Satu-satunya hal yang benar-benar menjadi milikku adalah diriku sendiri.” Inilah pemikiran yang melandasi ketakutanku untuk benar-benar membuka diri dalam cinta. Jika aku membiarkan diriku larut sepenuhnya, apa yang tersisa untukku?
Egoismeku bukan sekadar kecintaan berlebih pada diri sendiri; ia adalah bentuk pertahanan terhadap dunia yang telah berkali-kali mengajariku bahwa membuka diri berarti melukai diri. Ketika aku tumbuh dalam kesendirian, menghadapi pengkhianat sendirian, dan berjalan di dunia sendirian, aku belajar satu hal: diriku sendiri adalah satu-satunya yang bisa kuandalkan sepenuhnya.
Albert Camus menuliskan: “Dalam kedalaman musim dingin, saya akhirnya belajar bahwa di dalam diri saya terdapat musim panas yang tak terkalahkan.” Inilah yang kucoba pertahankan—musim panas di dalam diriku—melawan segala bahaya yang mungkin dibawa oleh cinta. Takut jika aku membiarkan orang lain masuk sepenuhnya, ia akan memadamkan api itu, meninggalkanku dalam kegelapan yang lebih kelam daripada sebelumnya.
Friedrich Nietzsche mungkin akan melihat ini sebagai manifestasi dari “will to power”—keinginan untuk mengontrol, untuk menjadi tuan atas nasib sendiri. “Apa yang dilakukan dari cinta,” tulisnya, “selalu terjadi di luar baik dan jahat.” Tapi apakah yang kulakukan benar-benar dari cinta? Atau dari ketakutan?
Drama dan Intimasi
Mengapa aku menciptakan drama dalam hubungan? Mengapa aku memilih konflik daripada kedamaian, intensitas daripada stabilitas? Mungkin karena drama memberikan ilusi intimasi tanpa benar-benar membutuhkan keintiman sejati.
Martin Buber membedakan dua jenis hubungan: I-It dan I-Thou. Dalam hubungan I-It, kita memperlakukan orang lain sebagai objek, sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita. Dalam hubungan I-Thou, kita mengakui dan menghormati keberadaan penuh orang lain sebagai subjek yang setara. “Semua kehidupan sejati adalah perjumpaan,” tulis Buber.
Dalam kelaparanku akan drama, aku telah mereduksi pasanganku menjadi “It”—objek dalam dramaku, alat untuk memenuhi kebutuhan egoku akan sensasi, validasi, dan penguasaan panggung. Aku menjauhkan diri dari perjumpaan sejati, dari kerentanan yang dibutuhkan untuk hubungan I-Thou.
Drama memberiku medan yang familier, tempat aku bisa bersembunyi di balik peran yang kumainkan. Dalam meledak-ledak emosinya, dalam intensitasnya, drama memberi aku alasan untuk tidak pernah benar-benar diam dan melihat ke dalam—ke dalam diriku sendiri, ke dalam pasanganku, ke dalam apa yang sebenarnya kami bangun bersama.
“Kita hanya mencintai apa yang tidak sepenuhnya kita miliki,” kata Marcel Proust. Mungkin itu sebabnya aku terus menciptakan situasi di mana cinta terancam, di mana keamanan hubungan dipertanyakan—karena dalam ketidakpastian itu, dalam pengejaran yang tak pernah selesai, aku merasa hidup.
Ketakutan Hilang Diri Sendiri
Apa yang paling kutakutkan dalam cinta? Bukan ditinggalkan, bukan dikhianati, tapi kehilangan diriku sendiri. Kehilangan identitas yang dengan susah payah kubangun dalam kesendirian dan perjuangan.
“Ketakutan bukanlah rasa takut akan sesuatu yang asing, melainkan rasa takut akan diri sendiri,” tulis Kierkegaard. Dan memang, yang paling kutakutkan bukanlah apa yang mungkin dilakukan orang lain padaku, tapi apa yang mungkin kulakukan pada diriku sendiri—bagaimana aku mungkin berubah, melunak, atau kehilangan kendali jika aku benar-benar membiarkan diriku mencintai tanpa syarat.
Simone Weil menyatakan: “Cinta adalah mengosongkan diri sendiri untuk mengisi diri dengan yang lain.” Tapi bagi seseorang yang berjuang seumur hidup untuk memenuhi diri, untuk menemukan diri, untuk membangun diri dari puing-puing kesepian—bukankah ‘mengosongkan diri’ terdengar seperti kematian?
“Kebebasan sejati adalah terletak pada penerimaan akan keterbatasan diri,” kata Sartre. Tapi aku belum siap menerima keterbatasan ini—keterbatasan bahwa aku mungkin, pada akhirnya, tidak bisa sepenuhnya mandiri, tidak bisa sepenuhnya kebal terhadap luka dan pengkhianatan.
“Manusia adalah makhluk yang terlalu kompleks untuk dimiliki. Jika kau mencintai seseorang, biarkan mereka pergi. Jika mereka kembali padamu, itu adalah takdir. Jika tidak, huntuklah mereka sampai mereka mati,” tulis Richard Bach dengan sentuhan humor gelap. Tapi aku tidak perlu membiarkan siapapun pergi, karena aku tidak pernah benar-benar membiarkan mereka masuk sepenuhnya.
Konsistensi yang Mustahil
Aku menuntut konsistensi dari pasanganku—ketetapan hati, kesetiaan tanpa cacat, kesabaran tanpa batas. Aku ingin dia memarahiku dengan konsisten, mencintaiku dengan konsisten, mendukungku dengan konsisten. Tapi di balik tuntutan ini tersembunyi pengakuan tersirat: aku tahu bahwa aku sendiri tidak bisa konsisten.
Heraclitus, filsuf pra-Sokratik, berkata: “Tidak ada orang yang bisa melangkah di sungai yang sama dua kali.” Karena sungai mengalir, berubah; dan manusia pun demikian. Kita selalu dalam proses menjadi, tidak pernah tetap. Mengapa aku menuntut kemustahilan dari pasanganku?
Maurice Merleau-Ponty mengajarkan bahwa tubuh kita selalu dalam dialog dengan dunia, selalu dalam proses adaptasi dan perubahan. “Kita tidak pernah sepenuhnya menjadi diri kita, dan tidak pernah sepenuhnya bukan diri kita,” tulisnya. Ambivalensi ini—antara ketetapan dan perubahan, antara identitas dan adaptasi—mungkin adalah inti dari ketakutanku dalam mencintai.
Aku menuntut sesuatu yang aku sendiri tak bisa berikan: ketetapan mutlak. Konsistensi tanpa cacat. Aku takut pada perubahan dalam diriku, tapi juga takut pada stagnasi. Aku ingin semua dramaku, semua kelaparan pengakuanku, semua ketakutanku diterima, dimaafkan, dimengerti—tapi aku tidak selalu bisa menawarkan penerimaan, pengampunan, dan pengertian yang sama.
“Cinta bukanlah mencari seseorang yang sempurna, melainkan melihat secara sempurna seseorang yang tidak sempurna,” kata Sam Keen. Tapi aku tidak bisa melihat dengan sempurna, karena pandanganku selalu dikaburkan oleh ego.
Menekan Ego
Apa itu menekan ego? Bukan penghapusan total—karena tanpa ego, tanpa kesadaran diri, kita bukan lagi manusia. Menekan ego bukanlah penyangkalan diri, melainkan perluasan diri—memperluasnya hingga mampu mencakup yang lain, hingga mampu melihat kepentingan orang lain sebagai kepentingan diri juga.
Michel Foucault mungkin akan menyebut ini sebagai “care of the self”—perhatian pada diri yang tidak hanya mempertahankan, tapi juga mentransformasi. “Kenali dirimu sendiri” adalah perintah Delphi kuno yang menjadi landasan filosofi Yunani. Tapi paradoksnya, semakin kita mengenali diri, semakin kita sadar bahwa batas-batas “diri” itu sendiri tidaklah tetap dan mutlak.
“Tidak ada yang lebih tersembunyi dari kita daripada diri kita sendiri,” tulis Augustine dari Hippo. Dan aku merasakannya—bagaimana aku bisa begitu yakin bahwa aku akan kehilangan diriku dalam cinta, jika aku sendiri tak sepenuhnya mengenali siapa “diriku” itu?
Menekan ego bukanlah penyerahan diri tanpa syarat, tapi pengakuan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari ego—ada ikatan manusia, ada tanggung jawab etis, ada kemungkinan pertumbuhan bersama. “Kau tidak dilahirkan hanya untuk dirimu sendiri,” tulis Cicero berabad-abad lalu.
Tapi bagiku, menekan ego masih terasa seperti kematian kecil. Kematian yang mungkin perlu untuk kelahiran kembali, tapi tetap saja—kematian. Dan aku belum siap mati, bahkan secara metaforis.
Apa itu Penerimaan?
Apa itu penerimaan? Bukan sekadar pasrah, bukan menyerah, tapi mengakui realitas sebagaimana adanya sebelum berusaha mengubahnya. Penerimaan adalah titik awal, bukan titik akhir.
“Penerimaan adalah prasyarat untuk perubahan,” kata Carl Rogers. Sebelum aku bisa mengubah pola destruktif dalam cara aku mencintai, aku harus menerima bahwa aku memang mencintai drama lebih dari orangnya. Aku mencintai sensasi yang diberikan konflik, pengejaran, dan rekonsiliasi lebih dari keintiman sejati.
Aku harus menerima bahwa kelaparanku akan pengakuan bukan sekadar kelemahan pribadi, tapi respons manusiawi terhadap masa lalu yang penuh keterasingan. Aku harus menerima bahwa ketakutanku akan kehilangan diri dalam cinta bukanlah tanda egoisme, tapi tanda luka yang belum sembuh.
Heidegger menuliskan tentang “Gelassenheit”—keadaan melepaskan, membiarkan segala sesuatu menjadi apa adanya. “Kita harus belajar untuk membiarkan segala sesuatu menjadi,” tulisnya. Mungkin ini jalan keluar dari lingkaran setan drama dan ego—belajar membiarkan cinta menjadi apa adanya, tanpa tuntutan akan sensasi, tanpa ketakutan akan kehilangan diri.
Tapi ini adalah jalan yang panjang dan sulit. Seperti yang dikatakan Rainer Maria Rilke: “Untuk satu orang manusia yang berusaha untuk mencapai kedalaman dalam dirinya, ribuan lainnya hidup dalam keajaiban dari fenomena eksternal.” Lebih mudah menciptakan drama, lebih mudah hidup di permukaan, daripada menyelam ke kedalaman diri sendiri.
Cinta dan Definisi Selalu Berubah
Apa itu cinta? Pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh manusia sepanjang sejarah, dan tak ada jawaban tunggal yang memuaskan. Bagi Plato, cinta adalah kerinduan akan penyatuan dengan Yang Baik dan Yang Indah. Bagi Aristotle, cinta adalah menginginkan yang baik bagi orang lain demi diri mereka sendiri.
Bagiku, cinta masih merupakan teka-teki, enigma, misteri yang belum terpecahkan. Setiap kali aku berpikir aku memahaminya, ia berubah bentuk, menampakkan sisi baru yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Mungkin seperti yang dikatakan Khalil Gibran: “Cinta tidak melihat dengan mata, tapi dengan hati.” Dan mungkin, itulah masalahku—aku terlalu banyak melihat dengan mata ego, terlalu sedikit dengan hati.
“Cinta adalah melepaskan ketakutan,” tulis Gerald Jampolsky. Tapi bagaimana aku bisa melepaskan ketakutan jika ketakutan itu telah menjadi bagian integral dari siapa aku? Bagaimana aku bisa mencintai tanpa takut kehilangan diri, jika ketakutan itu adalah cara aku bertahan hidup selama ini?
Mungkin, seperti yang disarankan oleh Thich Nhat Hanh, “Cinta adalah memahami.” Memahami diri sendiri, memahami orang lain, memahami sifat interdependen dari semua hal. Dan pemahaman dimulai dengan berhenti, dengan diam, dengan mendengarkan—hal-hal yang sangat sulit bagiku yang selalu lapar akan panggung dan pengakuan.
Pengkhianatan Pada Diri Sendiri
Pengkhianatan terburuk adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri,” kata Eleanor Roosevelt. Tapi apa yang merupakan pengkhianatan terhadap diri? Apakah membuka diri terhadap cinta merupakan pengkhianatan terhadap kemandirian? Apakah melepaskan drama demi keintiman sejati merupakan pengkhianatan terhadap identitas yang telah kubangun?
Mungkin inilah dilema terbesar: antara otentisitas dan adaptasi. Saya ingin tetap setia pada diriku, pada nilai-nilai dan prinsip-prinsipku, pada kebutuhanku akan otonomi. Tapi aku juga ingin tumbuh, ingin berubah, ingin belajar mencintai dengan cara yang kurang egois dan destruktif.
“Kebenaran yang sebenarnya adalah hidup dalam paradoks,” kata Pema Chödrön. Mungkin aku tidak perlu memilih antara kesetiaan pada diri dan keterbukaan pada perubahan. Mungkin aku bisa tetap menjadi diriku, dengan semua kompleksitas dan kontradiksinya, sambil membiarkan cinta mengubahku perlahan-lahan, dengan cara-cara yang bahkan tidak aku sadari.
“Kita mencari tidak untuk merubah dunia, tapi untuk tidak diubah olehnya,” tulis James Baldwin. Tapi mungkin perubahan tidak selalu berarti kehilangan. Mungkin, dalam perubahan yang dibawa oleh cinta sejati, aku bisa menemukan versi diriku yang lebih penuh, lebih utuh, daripada yang pernah aku kenal sebelumnya.
Kontradiksi dalam Drama
Di tengah semua kontradiksi dan pergulatan ini, apakah ada harapan? Apakah aku bisa belajar mencintai lebih dari sekadar dramanya? Apakah aku bisa mempertahankan diriku tanpa harus membentengi hatiku?
“Harapan bukanlah optimisme naif,” kata Vaclav Havel, “tapi kemampuan untuk bekerja demi sesuatu karena hal itu bernilai, bukan karena ia memiliki kesempatan untuk sukses.” Mungkin itulah kunci untuk melampaui kelaparan pengakuan dan cinta pada drama—untuk melihat hubungan bukan sebagai arena untuk ego, tapi sebagai ruang bagi dua jiwa untuk tumbuh bersama.
“Ada waktu dalam hidup ketika keheningan dan kesepian kita begitu menyakitkan sehingga kita terpaksa berteriak,” tulis Anaïs Nin. Dan mungkin itu yang selama ini kulakukan dengan semua drama—berteriak melawan kesunyian dan ketakutan. Tapi sekarang, mungkin adalah waktunya untuk belajar berbisik, untuk mendengarkan, untuk berada dalam keheningan tanpa rasa takut.
Rumi menulis: “Di luar ide tentang benar dan salah, ada ladang. Aku akan menemuimu di sana.” Mungkin, di luar semua pertarungan ego dan drama, ada ruang untuk jenis cinta yang belum pernah kukenal—cinta yang tidak didasarkan pada kelaparan dan ketakutan, tapi pada penerimaan dan pertumbuhan bersama.
Perjalanan yang Belum Selesai
Aku adalah sang aku, yang takut kehilangan diri sendiri saat mencintai wanita dan dunia. Aku takut merasa lemah, ketika dunia tidak memihakku, aku takut, dan aku takut buat mencintai dengan lebih dalam.
Tapi mungkin, seperti yang dikatakan Rilke: “Cinta terdiri dari ini: dua kesendirian yang saling melindungi, saling menyentuh, dan saling menyapa.” Mungkin aku tidak perlu memilih antara mempertahankan diri dan membuka hati. Mungkin keduanya bisa berjalan beriringan—jika aku akhirnya bisa menerima bahwa aku tidak sedang berperang, tapi sedang bertumbuh.
Aku mungkin tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari kelaparan pengakuan, dari godaan drama, dari ketakutan akan kehilangan diri. Tapi pengakuan akan hal-hal ini mungkin adalah langkah pertama menuju cinta yang lebih dewasa, lebih sadar, lebih memuaskan daripada sensasi sementara yang diberikan oleh drama.
“Hidup adalah perjalanan, bukan tujuan,” kata Ralph Waldo Emerson. Dan demikian pula dengan cinta—bukan keadaan statis yang harus dipertahankan, tapi proses yang terus berkembang, terus belajar, terus tumbuh.
Mungkin, pada akhirnya, ini yang harus kuterima: bahwa aku akan selalu menjadi kontradiksi berjalan—egois namun merindukan koneksi, mencintai drama namun juga kedamaian, takut kehilangan diri namun juga takut tidak pernah benar-benar ditemukan. Dan mungkin, paradoks ini bukanlah cacat, tapi justru inti dari apa artinya menjadi manusia.
Seperti yang dikatakan Walt Whitman: “Apakah aku berkontradiksi? Baiklah, aku berkontradiksi. Aku luas, aku mengandung banyak hal.” Mungkin, dalam penerimaan akan luasnya dan kompleksitas diri inilah, aku akhirnya bisa menemukan ruang untuk mencintai tidak hanya dramanya, tapi juga orangnya—tidak hanya refleksi egoku, tapi juga manusia utuh yang berdiri di hadapanku.
Inilah perjalananku yang belum selesai—dari kelaparan pengakuan menuju kemampuan untuk mengakui orang lain, dari mencintai drama menuju mencintai dengan autentisitas, dari takut kehilangan diri menuju keberanian untuk menemukan versi diriku yang lebih luas dan dalam melalui cinta.