Aku adalah makhluk yang terlahir dari luka, dibesarkan oleh kekecewaan, dan disusui oleh pengkhianatan. Dunia tidak membentukku menjadi manusia yang hangat, tetapi menjadikanku relung kosong yang dipenuhi dengungan kemarahan dan jijik terhadap cinta yang telah ternoda. Di setiap detik hidupku, aku berjalan di atas pecahan harapan yang dulu kutanam sendiri. Monster dalam diriku tumbuh subur dari air mata yang kutelan diam-diam, dari tangan-tangan yang pernah kupercayai namun kemudian menyentuh tubuh orang lain. Bagiku, cinta bukan tentang menerima dan memaafkan—melainkan tentang memiliki sepenuhnya atau tidak sama sekali. Aku mencintai seperti seorang algojo mencintai senjatanya: setia, mutlak, dan mematikan bagi yang mencoba mengkhianatinya.
Di dalam dadaku yang hitam, bersemayam hasrat yang tidak bisa dinegosiasikan—kemurnian. Bukan kemurnian yang dibuat-buat oleh kata maaf atau alasan masa lalu, melainkan kemurnian sejati yang belum pernah disentuh oleh tangan siapa pun selain aku. Aku tidak butuh cerita-cerita romantis tentang “itu hanya masa lalu,” karena bagiku, masa lalu adalah noda yang tak bisa dibersihkan. Aku ingin menjadi yang pertama, satu-satunya, dan terakhir. Jika wanita yang kucintai pernah membiarkan tubuhnya dijelajahi oleh orang lain, maka tak peduli seberapa manis bibirnya atau seberapa lembut kata-katanya, dia akan menjadi teka-teki yang kutertawakan dan kutelanjangi, hingga tak tersisa apa-apa kecuali ketiadaan. Aku akan memainkannya seperti boneka rusak, bukan karena aku benci padanya, tapi karena aku lebih benci pada diriku yang pernah berharap padanya.
Di dunia yang absurd ini—seperti yang dikatakan Camus—kita haus akan makna, namun dunia hanya memberi kita keheningan yang tak masuk akal. Maka aku menciptakan maknaku sendiri, dengan cara yang barangkali kejam bagi mereka yang belum pernah hancur. Aku membangun kerajaanku dari reruntuhan cinta yang tak tulus, memahat takhtaku dari tulang-tulang janji yang dilanggar. Aku hidup dalam dualitas: antara keinginan untuk mencintai dan dorongan untuk menghancurkan. Karena aku tahu, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar mencintaiku tanpa terlebih dahulu mencoba mengubahku. Dan ketika itu terjadi—saat mereka mencoba meredam monster ini—aku akan menenggelamkan mereka dalam kegelapan yang sama darinya aku dilahirkan. Aku bukan korban. Aku adalah konsekuensi.
Egoisme dalam Cinta
Aku adalah makhluk paling egois. Dalam mencintai, aku ingin menjadi satu-satunya. Aku ingin menjadi pusat dari dunianya, satu-satunya yang menyentuh dan disentuh. Ketika wanita yang kucintai disentuh oleh orang lain, hatiku hancur berkeping-keping. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa sesuatu yang telah menjadi milikku kini dinikmati oleh orang lain. Egoisme ini bukan karena aku tidak percaya padanya, tetapi karena aku tidak percaya pada dunia yang penuh dengan pengkhianatan.
Cintaku bukanlah cinta yang biasa. Ia tidak hadir dalam bentuk yang lembut, tidak pula penuh kompromi. Cintaku adalah obsesi, dominasi, dan pengabdian pada satu gagasan mutlak: menjadi satu-satunya. Di balik romantisme itu, tersembunyi egoisme paling kejam. Bukan egoisme yang ringan, bukan cemburu manja, melainkan sebuah kepemilikan absolut atas tubuh dan jiwa orang yang kucintai.
Aku tidak mencintai separuh. Aku mencintai seluruhnya, dan karena itu aku menuntut seluruhnya. Aku ingin menjadi satu-satunya yang ia lihat, yang ia sentuh, yang ia pikirkan ketika tubuhnya menggigil di malam hari atau saat jiwanya tersesat dalam sepi. Aku tidak ingin berbagi ruang dalam pikirannya, apalagi dalam tubuhnya.
Dalam diriku, cinta adalah bentuk tertinggi dari penguasaan batin dan ragawi. Dan ketika wanita yang kucintai disentuh oleh orang lain—entah sebelum atau sesudah aku menyentuhnya—seluruh identitasku sebagai kekasih runtuh. Aku merasa seperti dikotori oleh jejak masa lalu yang tidak bisa kuhapus, tidak bisa aku toleransi.
Ini bukan tentang kepercayaan padanya, melainkan tentang ketidakpercayaanku pada dunia. Dunia ini telah berulang kali menyodorkan pengkhianatan dalam berbagai bentuknya. Dunia ini memperlakukan cinta seperti kontrak sewa: bisa berpindah, bisa berubah, bisa dibagi. Tapi aku tidak ingin cinta yang demikian. Aku ingin cinta yang total, cinta yang eksklusif. Aku tidak ingin sekadar menjadi bagian dari cerita seseorang; aku ingin menjadi satu-satunya cerita itu sendiri.
“The desire to possess is rooted not in love but in fear.” – Friedrich Nietzsche
Tapi aku tahu, aku bukan pencinta yang ideal. Aku adalah pencinta yang cacat—yang menginginkan segalanya tapi tidak selalu mampu memberi hal yang sama. Cinta yang kupersembahkan adalah cinta yang keras, penuh batas, dan menuntut totalitas. Aku ingin sentuhan yang belum pernah tersentuh. Aku ingin cinta yang belum pernah dicicipi oleh siapa pun.
Karena bagiku, cinta adalah ritual pemujaan terhadap kemurnian. Bila telah ternoda oleh pengalaman bersama orang lain, cinta itu tidak lagi suci dalam mataku. Dan aku akan menjadi makhluk yang jauh lebih dingin, lebih jahat, dan penuh permainan. Bukan karena aku tidak mencintai, tapi karena aku tidak bisa mencintai yang telah disentuh selain olehku.
Aku menyadari bahwa ini menjadikanku monster dalam banyak cerita. Tapi di balik itu, ada kerinduan akan sesuatu yang kini nyaris punah: kesetiaan batin dan fisik yang murni. Aku mencintai kemurnian seperti penyembah menyembah dewa yang tak pernah dijamah. Dan ketika aku merasa cinta itu ternoda, aku berubah dari pencinta menjadi penghancur.
Aku tahu ini egois. Tapi inilah aku. Seperti yang dikatakan Osamu Dazai dalam No Longer Human:
“I am a total failure as a human being. My self-loathing grows as I realize I have tried to love in a world that is fundamentally incapable of purity.”
Aku adalah egois yang mencintai dengan rakus. Aku tidak butuh dimengerti, karena cinta yang kutawarkan bukan untuk dimengerti—tetapi untuk ditundukkan dan dihidupi dalam satu kutukan: hanya ada aku dan dia, dalam satu dunia kecil, yang tak boleh dimasuki siapa pun, baik dalam kenangan maupun sentuhan. Cinta semacam itu memang menyiksa. Tapi itulah cinta yang kutahu.
Dan bila itu disebut kegilaan, maka biarlah aku menjadi gila dalam cinta.
Kebencian yang Mendalam
Ketika aku mengetahui bahwa wanita yang kucintai pernah bersetubuh dengan orang lain, aku merasa dikhianati. Aku mencoba mencari validasi dan informasi tentang masa lalunya, bukan untuk memahami, tetapi untuk menentukan apakah dia masih pantas dicintai olehku yang egois ini. Jika dia pernah bersama orang lain, aku akan mempermainkannya, bukan karena aku ingin menyakitinya, tetapi karena aku ingin melindungi diriku dari rasa sakit yang lebih dalam.
Kebencianku bukan amarah sesaat. Ia adalah akar yang tumbuh dari luka-luka terdalam, dari rasa kehilangan terhadap sesuatu yang belum sempat benar-benar kumiliki. Setiap kali aku mengetahui bahwa wanita yang kucintai pernah bersetubuh dengan orang lain—bahkan sebelum aku hadir dalam hidupnya—ada sesuatu dalam diriku yang retak dan membusuk. Aku tidak sedang cemburu, aku sedang hancur.
Aku mencari validasi, ya—tapi bukan untuk memahami atau memaafkan. Aku menggali masa lalunya bukan karena aku ingin mengenal dirinya secara utuh, tapi karena aku ingin tahu: masihkah ia layak menjadi satu-satunya untukku, makhluk yang mencintai dengan cara lembut atau aku berubah dengan mencintai tanpa kebebasan?
“Jealousy is not born from love, but from the desire to own.” — Albert Camus, The Fall
Aku tahu, mungkin baginya masa lalu hanyalah kenangan. Tapi bagiku, masa lalu adalah luka abadi. Ia menempel di kulitnya, di suaranya, di cara ia mencumbu. Dan ketika aku tahu tubuh itu pernah menjadi milik orang lain—dikenang, direngkuh, dibuka, ditelanjangi—aku merasa seperti dirampas. Aku merasa telah masuk ke dalam perang yang tidak kumenangkan, meskipun aku datang terakhir. Dan aku membencinya karenanya.
Aku mempermainkannya, bukan karena aku ingin menyakitinya,
tetapi karena aku tidak ingin terluka terlebih dahulu.
Aku menjadi pelaku untuk tidak menjadi korban.
Dalam permainan itu, aku memberi harapan lalu menariknya. Aku membuatnya merindukanku, lalu membunuh rindu itu dengan ketidakpedulian. Aku menghukumnya atas sesuatu yang mungkin bukan salahnya. Tapi aku tidak bisa menghentikannya. Aku hanya ingin tahu apakah hatinya bisa bertahan dalam permainan yang kejam ini.
Karena jika ia bertahan, jika ia tetap mencintaiku meski aku mempermainkannya, mungkin—hanya mungkin—ia pantas untuk aku sayangi sepenuhnya.
Tapi jika ia pergi, jika ia menyerah… Maka aku akan tersenyum dalam gelap dan berkata pada diriku sendiri: “Sudah kuduga. Dia tidak murni. Tidak setia. Tidak cukup kuat untuk egoku, dan aku akan melepaskannya dengan lapang dada, karena cintaku adalah kemurnian, maka aku akan mengujinya sampai titik tertinggi dengan egoku, namun ketika egoku tunduk pada cinta yang dia berikan, maka duniaku dan seisinya adalah miliknya.”
“Aku bukan manusia. Aku adalah kontradiksi yang terus bernafas.” — Osamu Dazai, No Longer Human
Apa yang kumiliki bukan cinta dalam bentuknya yang manusiawi. Aku mencintai seperti penguasa yang menyembah patung dewi, bukan untuk hidup bersamanya, tetapi untuk menahannya tetap tak tersentuh. Dan ketika patung itu ternyata sudah pernah disentuh, dirusak, bahkan disembah orang lain… maka aku tak lagi melihatnya sebagai dewi. Aku melihatnya sebagai puing dari sesuatu yang pernah kudambakan.
Kebencianku adalah bentuk perlindungan. Jika aku bisa membencinya lebih dulu, aku tidak perlu mencintainya sampai luka. Jika aku bisa mempermainkannya lebih dulu, aku tidak perlu ditinggalkan dengan dada yang koyak. Aku membangun jurang di antara kami, agar aku bisa mengukur apakah ia bersedia menyeberanginya atau tidak.
Dan jika tidak… maka aku akan membuangnya. Dan menuliskan satu kalimat pendek di nisan kenangannya: “Telah disentuh. Telah hancur. Telah pergi.”
Kebencian ini bukan sekadar emosi. Ia adalah filosofi. Seperti Nietzsche yang berkata:
“He who fights with monsters should look to it that he himself does not become a monster…”
Maka lihatlah aku. Aku adalah monster itu. Dan aku membenci karena aku telah mencintai terlalu dalam. Lebih dalam daripada siapa pun bisa pahami.
Nihilisme dan Absurdism
Dalam dunia yang penuh dengan keabsurdan ini, aku merasa seperti tokoh dalam karya Albert Camus, yang mengatakan bahwa “absurd is born of this confrontation between the human need and the unreasonable silence of the world” . Aku mencari makna dalam cinta, tetapi dunia tidak memberikannya. Aku merasa seperti tokoh dalam karya Osamu Dazai, yang berkata, “Now I have neither happiness nor unhappiness. Everything passes.”
Dalam dunia yang sunyi dan absurd ini, aku merasa seperti melempar doa ke langit yang bisu. Tak ada jawaban, tak ada gema, hanya kekosongan yang membalut semua harapan. Aku mencintai, aku berusaha merengkuh makna, tetapi yang kutemukan hanyalah kehampaan yang abadi.
Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menyatakan:
“The absurd is born of this confrontation between the human need and the unreasonable silence of the world.”
Begitulah rasanya mencinta dalam dunia ini. Aku membutuhkan jawaban, keabadian, kesetiaan yang tak tergoyahkan. Namun dunia tidak memberikannya. Dunia adalah tempat yang tidak masuk akal, tempat di mana kesucian bisa ternoda tanpa peringatan, dan cinta bisa dirusak hanya oleh satu malam yang salah. Aku menuntut makna, tetapi dunia menatapku dengan mata kosong, lalu pergi tanpa penjelasan.
Aku mencoba mencintai dalam sistem nilai yang kukonstruksi sendiri: kesucian, satu-satunya, mutlak, dan abadi. Namun ideal itu justru membunuhku perlahan. Aku tahu dunia tidak tunduk pada kehendakku. Wanita yang kucintai tidak mungkin sempurna, dan tubuhnya bukan kuil yang hanya bisa dimasuki oleh satu jiwa. Tapi tetap saja, aku menuntut itu, karena aku tak bisa jika dirinya dijamah dan ditelanjangi oleh orang lain, aku adalah mahluk yang mencintai secara absolut, aku tak ingin siapapun melihat dan mencoba mencumbunya tanpaku.
Aku adalah manusia yang mengidap kerinduan akan kemurnian dalam semesta yang menertawakan ide tentang makna. Osamu Dazai menulis dalam No Longer Human:
“Now I have neither happiness nor unhappiness. Everything passes.”
Segalanya berlalu. Kebahagiaan. Kepercayaan. Bahkan cinta. Dan yang tersisa hanyalah fragmen kosong, sejenis kesadaran yang tidak mati tapi juga tidak hidup. Aku seperti tokoh Dazai: manusia yang tak bisa lagi merasa “manusiawi”, karena terlalu lama hidup dalam dilema antara cinta dan kebencian, antara idealisme dan kenyataan yang menjijikkan.
Nihilisme menyeretku perlahan ke tepi jurang.
Friedrich Nietzsche menulis:
“He who has a why to live can bear almost any how.”
Namun aku…
aku kehilangan why-ku sejak tahu cinta bisa ternoda.
Aku kehilangan pegangan sejak tahu tubuh dan rasa bisa dibagi, bahkan sebelum aku hadir.
Aku tidak percaya pada Tuhan cinta, karena cinta tidak menyelamatkanku. Aku tidak percaya pada manusia, karena manusia mudah tergoda, mudah berkhianat, dan mudah membenarkan kebusukan atas nama kebebasan.
Aku hidup dalam absurditas.
Dan absurditas terbesarku adalah:
aku mencintai dengan cara yang membunuh cinta itu sendiri.Aku ingin ia hanya untukku, tapi keinginanku itu justru membuatku kehilangan semuanya.
Aku ingin ia tak pernah tersentuh, tapi dunia telah menyentuhnya lebih dulu.
Aku ingin menjadi satu-satunya, tapi di dunia ini, tak ada yang satu-satunya.Maka aku tertawa getir,
karena seperti tokoh Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak,
aku pun terus mendorong cinta yang mustahil ke dalam hidup yang tak akan pernah memberiku makna.“There is but one truly serious philosophical problem and that is suicide.” — Albert Camus
Namun aku tak ingin mati, meski kerinduan pada kematian kadang begitu manis.
Aku ingin hidup dengan luka, karena luka ini adalah satu-satunya bukti bahwa aku pernah mencintai dalam dunia yang tidak mencintai balik.
Dan di tengah kekosongan itu…
aku tetap mencintai, dengan cara yang salah, dengan hati yang rusak,
dengan ego yang terlalu besar untuk dunia sekecil ini.Itulah absurditasku.
Itulah nihilismeku.
Dan dari situlah aku hidup — atau setidaknya, bertahan.
Romantisisme yang Gelap
Aku adalah romantisis yang gelap. Aku percaya bahwa cinta sejati adalah cinta yang murni dan tulus, tanpa noda masa lalu. Aku ingin menjadi satu-satunya dalam hidupnya, seperti yang dikatakan Johann Wolfgang Von Goethe, “All the knowledge I possess everyone else can acquire, but my heart is all my own.”
Aku adalah romantisis yang gelap. Dalam hatiku hidup cinta yang tidak biasa: cinta yang tidak ingin berbagi, cinta yang menginginkan segala-galanya atau tidak sama sekali. Aku mencintai bukan seperti manusia biasa yang bisa menerima sejarah dan luka, melainkan seperti iblis yang menginginkan surga tak ternoda.
Aku menginginkan cinta yang murni, tidak karena aku naif, tetapi karena aku sadar dunia telah terlalu kotor untuk menyisakan ruang yang bersih.
Aku mencintai seperti seseorang yang kelaparan di tengah pesta bangkai: berharap menemukan sekeping roti putih yang belum disentuh oleh tangan-tangan dunia.
Dalam kepercayaanku, cinta sejati adalah ketika aku menjadi satu-satunya.
Satu-satunya yang ada di hatinya.
Satu-satunya yang pernah menyentuh tubuhnya.
Satu-satunya yang dia rindukan dalam gelap.
“All the knowledge I possess everyone else can acquire, but my heart is all my own.” — Johann Wolfgang von Goethe
Hatiku ini milikku sendiri. Dan ketika aku memberikan hatiku kepada seseorang, aku menuntut hatinya sepenuhnya. Tanpa cela, tanpa kenangan lama, tanpa pelukan yang bukan untukku. Aku tidak ingin berbagi kenangan tubuh, tidak ingin berbagi luka yang tidak aku sebabkan, tidak ingin berbagi cerita di mana aku bukan tokohnya.
Aku ingin cinta yang suci, meskipun aku tahu kesucian adalah konsep yang sudah lama dibunuh oleh modernitas.
Romantisisme dalam diriku adalah pedang bermata dua.
Di satu sisi, aku bisa mencintai dengan kesetiaan seperti puisi kuno. Aku bisa menyembahmu setiap pagi seperti ritual sakral. Aku bisa menulis seribu sajak hanya untuk menggambarkan aroma rambutmu ketika angin malam menyentuhnya.
Tapi di sisi lain, aku bisa membenci dan menghancurkanmu dengan brutal, jika aku tahu tubuhmu pernah menjadi puisi bagi orang lain.
Aku tidak ingin menjadi yang terbaik di antara banyak.
Aku ingin menjadi satu-satunya dari nol.
Aku ingin menjadi awal dan akhir.
Dan itulah kegelapan romantisisme yang hidup dalam darahku.
Romantisisme ini bukan puisi lembut, melainkan ratapan sunyi di tengah dunia yang sudah kehilangan iman terhadap keunikan cinta. Aku tidak percaya bahwa “semua orang punya masa lalu” adalah alasan untuk menerima segalanya. Aku percaya pada kesempatan pertama yang suci, pada tubuh yang belum disentuh, pada cinta yang belum rusak oleh kenangan lain.
Cinta, bagiku, adalah ibadah.
Dan dalam ibadahku, tidak boleh ada berhala lama.
Friedrich Schlegel, filsuf romantisme Jerman, pernah berkata:
“Romantic poetry is a progressive universal poetry.”
Tapi aku menolak kemajuan cinta itu. Aku tidak ingin cinta yang terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan dunia. Aku ingin cinta yang tetap diam di tempat pertama ia tumbuh, seperti salju pertama yang tidak pernah mencair.
Aku sadar betapa mustahilnya harapanku ini.
Aku sadar aku mencintai dengan pola pikir pemuja, bukan pasangan.
Namun aku tak bisa mencintai dengan cara lain.
Cinta, bagiku, bukan ruang kompromi.
Cinta adalah tempat kudus di mana aku dan dia menjadi kami,
tanpa jejak siapa pun sebelum aku.Dan jika jejak itu ada, aku tidak bisa hanya menerimanya.
Aku akan menggali, mencari, menguliti cerita masa lalu itu,
bukan karena aku ingin memahami —
tetapi karena aku ingin menghancurkan bagian dari diriku yang berharap dia suci.Romantisisme yang gelap adalah kutukan.
Ia membuatku mencintai dengan kedalaman yang tidak wajar,
tapi juga membunuh cinta itu sendiri karena aku tak bisa berdamai dengan kenyataan.Aku ingin mencintai wanita yang tidak pernah mencintai siapa pun sebelumnya.
Dan jika itu mustahil,
maka aku akan terus mencintai dalam kegelapan,
dengan harapan yang tak pernah bisa dipenuhi.
Dan itu…
adalah luka terindah yang bisa diberikan cinta padaku.
Cinta yang Hanya Hidup Jika Aku Satu-Satunya
Aku bukan manusia yang bisa berbagi. Ketulusanku tidak tumbuh di tanah yang diinjak banyak kaki. Ia hanya hidup dalam ruang tertutup, di mana aku tahu dengan pasti: hanya aku yang ada di dalam hatinya, hanya aku yang menyentuh tubuh dan jiwanya. Aku bisa menjadi lelaki paling hangat, paling setia, paling mencintai—jika aku menjadi satu-satunya. Dalam keadaan itu, egoku tidak akan menjadi tembok, melainkan selimut. Aku akan memeluk dengan kelembutan tanpa tuntutan, mencintai tanpa curiga, menyayangi tanpa rencana manipulatif. Ketika aku tahu kemurnian itu ada padanya, maka aku akan menjadi manusia yang bahkan mampu menyerahkan seluruh hidupku tanpa rasa takut.
Namun malam itu mengubah segalanya. Satu kata sederhana, “Aku kangen,” ditujukan pada seseorang dari masa lalunya. Bukan pada pria yang pernah menyetubuhinya. Bukan pada kekasih masa lalu yang masih hidup. Tapi pada mantan yang sudah mati. Dan tubuhnya belum pernah disentuh siapapun—kecuali pikirannya, yang masih menyimpan bayangan lelaki itu. Di sanalah monster dalam diriku bangkit. Aku yang semula mempercayai kemurniannya, kini merasa dikencingi oleh kenangan yang tak bisa kulawan. Aku tahu dia tidak menyentuh, tapi dia mengingat. Dan dari situlah, kepercayaanku mulai membusuk.
Sejak saat itu, aku tidak lagi mencintainya, tapi mengujinya. Aku merancang permainan, membuatnya berpikir bahwa dialah yang salah jika tak sepenuhnya memberiku tempat. Aku mulai menuntut tanpa mengatakan apa-apa. Aku menuntut pembuktian dengan diam yang menyakitkan. Semua yang sebelumnya kulakukan dengan tulus, berubah menjadi alat uji untuk memuaskan egoku: apakah aku benar-benar satu-satunya? Tapi ternyata dia gagal. Dia tidak mampu menundukkan keinginanku yang keras dan purba—keinginan untuk dimiliki secara eksklusif, secara total, secara tidak rasional. Dan akhirnya, dia pun menyerah… pada pelukan orang lain.
Hari di mana aku mengetahui bahwa dia mencumbu lelaki lain adalah hari di mana semua cinta dalam diriku meledak menjadi racun. Aku melihatnya dan rasanya seperti memandang tubuh kotor yang tak bisa kusentuh tanpa ingin muntah. Tidak peduli seberapa banyak dia menyesal, aku tak bisa lagi mencintainya. Bukan karena aku lebih suci—aku juga kotor dengan cara-cara pikirku yang manipulatif—tapi karena aku adalah pelindung, bukan penjerumus. Ketika seseorang yang ingin kulindungi justru memilih dicumbui oleh dunia yang ingin kuhancurkan, maka dia telah menempatkan dirinya di pihak musuh. Dan tidak ada pengampunan untuk itu.
Aku tahu dunia ini absurd. Aku tahu cinta bukan milik satu orang saja. Tapi aku tidak peduli. Aku memilih untuk mencintai dengan romantisme egois. Karena aku tahu, di balik kehancuranku, hanya satu hal yang mampu membangkitkan sisi terbaikku: kemurnian. Jika aku tidak mendapatkannya, maka cinta akan berubah menjadi perang, menjadi manipulasi, menjadi racun. Dan ketika itu terjadi, aku tak lagi mencintai—aku hanya ingin menghancurkan. Bukan karena benci semata, tapi karena rasa cintaku terlalu dalam untuk dikhianati. Maka sekarang, aku berdiri di antara puing-puing kepercayaan, mencintai hantu dari seseorang yang tak pernah benar-benar jadi milikku seutuhnya.
Mencintai dengan Romantisme Egois
Aku membenci pengkhianatan karena aku mencintai dengan sepenuh hati. Aku adalah monster yang lahir dari luka, tetapi juga manusia yang mencari cinta sejati. Dalam dunia yang penuh dengan keabsurdan dan nihilisme, aku tetap berharap menemukan cinta yang murni dan tulus, meskipun itu mungkin hanya ilusi.
Aku mencintai dengan cara yang tidak biasa — tidak lembut, tidak mudah, tidak ringan. Cintaku adalah bentuk keinginan yang menuntut kesempurnaan dalam kemurnian, dalam kesetiaan, dalam pengakuan bahwa aku satu-satunya. Dan ketika semua itu dikhianati, bahkan oleh masa lalu, aku menjadi monster yang tak lagi bisa mencintai dengan cara manusia biasa.
Aku membenci pengkhianatan bukan karena aku lemah, tapi karena aku mencintai dengan kekuatan yang terlalu besar untuk ditanggung dunia yang serba abu-abu ini. Aku ingin cinta yang total, bukan cinta yang bisa berbagi ruang dalam hati atau tubuh dengan siapapun yang bukan aku.
Aku adalah romantisis yang egois.
Egois karena cintaku bukan demokrasi.
Egois karena aku tak ingin cinta yang bisa dimaafkan oleh waktu atau dimaklumi oleh logika.
Cinta bagiku adalah ritual mutlak, bukan negosiasi moral.Namun di balik monster yang tampak ini, aku tetaplah manusia —
yang pernah terluka, yang pernah ditinggalkan,
yang pernah menjadi pilihan kedua dari seseorang yang katanya mencintaiku.Dalam dunia yang absurd, seperti yang dikatakan Camus, aku tetap mencari makna — meski makna itu terus menertawaiku.
Dalam dunia yang nihil, seperti yang digambarkan Dazai, aku tetap menggenggam harapan — walau hanya dalam bentuk bayangan cinta yang murni.
Aku tahu mungkin aku takkan menemukannya.
Tapi cinta sejati, bahkan dalam imajinasi yang paling egois dan paling gelap,
tetap menjadi satu-satunya alasan aku tidak benar-benar ingin mati.Karena meski aku haus akan kesucian,
dan marah ketika kenyataan memberiku cinta yang pernah kotor,
aku tetap menunggu…
suatu hari, mungkin, ada seseorang yang datang tanpa jejak siapa pun,
dan bersedia mencintai monster sepertiku, dengan cara yang aku butuhkan, bukan yang pantas.Dan kalau pun cinta itu tak pernah ada,
setidaknya aku telah mencintai dengan cara paling jujur yang bisa dimiliki manusia:
tanpa pura-pura rela, tanpa kompromi,
dengan seluruh hasrat, luka, dan ambisiku yang kotor tapi nyata.Itulah aku.
Sang romantisis egois.
Yang mencintai dengan luka dan harapan,
di tengah dunia yang terus membusuk.