Sedari awal, aku memang suka melakukan drama. Mengapa? Karena di dalam setiap jalur kehidupanku yang penuh liku, aku menemukan kenyamanan dalam berpura-pura. Aku adalah manusia yang egois, dan dalam egoku, aku menciptakan panggung sandiwara di mana aku adalah aktor sekaligus penonton. Terkadang, aku merasa terjebak dalam naskah yang kutulis sendiri, berperan sebagai sosok yang penuh rasa, penuh gairah, namun di balik semua itu, ada kekosongan yang selalu mengintai.
“Menangis, tersenyum, tertawa, mencintai—itu semua hanya topeng belaka.”
Saat aku merasakan jatuh cinta, saat itu juga muncul harapan dan kerinduan. Namun, ketika semua itu tercapai, saat cinta yang kusebut abadi terwujud dalam bentuk yang nyata, rasa hampa menyerangku dengan hebatnya. Terbayang di benakku adalah masa depan: menikah dengan sosok yang kudambakan, menciptakan kehidupan bersama, namun yang ku rasakan adalah sebuah kekosongan. Bukankah ini ironis? Mengapa saat kesempatan itu datang, aku justru merasakan ketidakpuasan? Apakah ekspektasiku terlalu tinggi? Tentu tidak, tetapi ada hal lain yang membebani pikiranku. Aku takut, takut si monster ini tidak dapat dipuaskan oleh kehadiran dirinya.
Dalam benakku, aku adalah monster yang terperangkap dalam kesenangan dan drama. Dalam ketidakpuasan ini, aku melakukan apa saja demi mendapatkan sensasi yang kusesaki. Drama pura-pura nangis? Drama pura-pura senang? Semua itu adalah peran yang kutjalani dengan sepenuh hati, meski kadang aku merasa terjebak dalam lautan kepura-puraan. Sampai pada suatu titik, kelelahan mendorongku untuk berbicara kepada sosok yang kusebut sebagai kekasihku, “Aku capek, kita udahan ya?” Kata-kata ini sering kali terlontar ketika aku merasakan keletihan jiwa yang mendalam, bukan karena aku tidak menyukainya. Melayu dalam drakor hidupku, yang tumbuh tidak semestinya. Kekosongan ini tidak bisa diisi oleh apapun, bahkan oleh cinta yang ada di hadapanku.
Aku tumbuh menjadi sosok yang egois, seorang pemuja sensasi. Ini adalah kebodohanku. Dalam pencarian cintaku, aku terjebak dalam drama, dan drama itu menyebar ke semua aspek kehidupanku. Dalam pekerjaan dan masalah mencari uang, aku juga menciptakan drama dan menyalahkan orang lain. Aku adalah monster yang tidak hanya terjerat dalam kisah cinta, tetapi juga dalam pencarian jati diri.
Aku tidak pernah peduli dengan hasil akhir; bagiku, yang terpenting adalah mendapatkan sensasi dari setiap pengalaman. Sensasi penuh amarah, sensasi penuh canda dan tawa—itu yang kucari. Setiap momen, baik suka maupun duka, adalah bagian dari pertunjukan yang menanti untuk diekspresikan. Proses itu yang membuatku hidup; hasilnya, entah bagaimanapun, hanya sebuah konklusi dari drama yang telah kutulis dan kubawakan.
Pada titik ini, terlintas dalam pikiranku konsep yang ditawarkan oleh Friedrich Nietzsche—konsep tentang hidup yang sepenuhnya dihidupi dengan berani. Nietzsche pernah berkata bahwa kita adalah makhluk yang berjuang untuk menghadapi kenyataan pahit dalam hidup. Dalam setiap drama yang kutampilkan, aku berusaha meneguhkan diriku sendiri, bahkan jika itu berarti memperlihatkan sisi gelapku kepada dunia. Ada saat-saat ketika kukenang bahwa hidup ini bukanlah tentang mencari makna, melainkan tentang menciptakan makna melalui setiap tindakan dan pilihan yang kuambil.
Dengan perspektif ini, aku melihat betapa besarnya pengaruh drama dalam hidupku. Ketika rasa hampa memasuki diriku, aku menjadikannya bahan bakar untuk mendorongku lebih jauh ke dalam kegelapan. Akhir-akhir ini, aku menyadari bahwa setiap topeng yang kupakai tidak hanya menyembunyikan, tetapi juga menciptakan. Ada semacam keindahan dalam pengabaian, semacam keindahan dalam mengelola kebohongan—aku adalah penulis naskah yang membuat karakter-karakter dalam hidupku, dengan akting dan perasaan yang terjalin menjadi satu.
Di dalam kegelapan, muncul gagasan Edogawa Rampo, seorang penulis yang membawa pembaca berliku-liku dalam dunia penuh ketegangan dan misteri. Karya-karyanya menggambarkan sisi kelam dari manusia, memperlihatkan bagaimana kita dapat terperosok dalam takdir yang kita ciptakan sendiri. Mungkin saja, dalam perjalanan ini, aku menghidupkan sisi-sisi gelap yang tak berujung, berputar dalam lingkaran ketidakpuasan. Rampo mengajarkan bahwa dalam setiap drama, ada kompleksitas emosi yang dapat menyentuh jiwa. Dan di sinilah aku, berdiri di tengah panggung, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya aku cari.
Dalam ceritaku selanjutnya, aku merangkai hubungan yang terus menerus menguji batas-batas diriku. Aku merasakan beragam sensasi ketika berdialog dengan orang-orang di sekitarku. Di tengah tawa, ada air mata tersembunyi; di balik senyuman, tersimpan ketakutan. Tetapi, bahkan dalam suasana hati yang beragam ini, aku tetap berpegang pada satu kebenaran: bahwa cinta, meski seringku rasakan sebagai sebuah kebohongan, pada dasarnya adalah satu-satunya alasan yang membuatku terus berjuang.
Akhirnya, aku kembali ke pertanyaan mendasar: Apakah aku menjalani hidup ini hanya untuk merasakan sensasi? Drama demi drama mengisi hari-hariku, tetapi apa yang sesungguhnya aku inginkan? Di saat-saat merenung, aku berusaha menggali lebih dalam, berpikir tentang harapan dan impian yang terdesak oleh ego dan kesenangan. Tanpa sadar, aku menemukan ketidakpastian dibalik semua itu; apakah aku sedang mencari cinta, ataukah hanya menggantikan ruang kosong yang ada dalam diriku sendiri?
Alfred Camus, dengan pandangannya tentang absurditas hidup, mengajak kita untuk menemukan keindahan dalam ketidakpastian. Melalui lensa Camus, aku menyadari bahwa hidupku adalah sebuah pertunjukan yang penuh dengan absurditas—aku adalah bintang utama dalam drama bertajuk “Manusia Penuh Drama.” Momen-momen ketika aku merasakan hampa, dan saat-saat ketika aku mengukir senyuman palsu, sebenarnya adalah cara untuk menghadapi kekosongan yang mengitari kehidupanku.
Aku, sang aku, bertindak atas dasar ego dan ketakutan akan ditinggalkan. Drama yang kujalani adalah upaya untuk bersembunyi dari kebenaran, dari ketidakberdayaan yang sering kurasakan. Dalam dialog batin ini, aku berusaha memahami bahwa justifikasi atas perilaku ini bukanlah hasil yang seharusnya kucari, melainkan proses itu sendiri—proses menjalani hidup dalam segala kerumitan dan keindahannya.
Sebagai seorang pengembara dalam dunia yang penuh drama, aku mencoba menyentuh setiap aspek emosi yang ada. Aku mencintai kegembiraan yang datang, tetapi justru takut ketika kebahagiaan itu berada di ujung jari. Ketakutan akan kehilangan mengintai dalam setiap momen indah, berusaha mencegahku merasakan kedalaman cinta—karena di situlah, di kedalaman, aku bisa melihat bayang-bayang yang mengintip: ketidakpuasan dan kekosongan.
Dalam perjalanan yang penuh sensasi ini, aku mengenal cinta dan benci—keduanya adalah bagian dari drama yang aku ciptakan. Kadang, aku jatuh dalam lautan cinta yang dalam; kadang, aku terjerumus ke dalam lubang gelap kebencian pada diriku sendiri. Mengapa aku menjadi begitu jahat pada diriku? Mengapa aku membiarkan ego dan kesedihan mendominasi perjalanan ini?
Ketika rasa putus asa melanda, aku berusaha bertanya pada diriku sendiri, “Apakah sensasi yang kuinginkan masih berharga jika pada akhirnya menghancurkan semua yang ada dalam hidupku?” Jawaban ini tidak mudah, karena begitu banyak pengalaman pahit yang terakumulasi. Namun, dalam segala keputusasaan ini, aku juga menemukan kekuatan untuk melangkah maju, meskipun aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan pernah mudah.
Kembali kepada diriku sendiri, aku merenungkan semua hal yang telah kudapatkan—cinta, rasa sakit, keindahan, dan kesedihan. Semua ini adalah bagian dari drama kehidupan yang kutulis, menggambarkan potret diriku sebagai manusia. Apakah aku harus terus menerus menari di atas pentas sandiwara ini? Apakah hanya melalui drama inilah aku bisa menemukan keindahan yang kucari?
Satu hal yang ku sadari adalah bahwa meskipun aku adalah monster yang penuh drama, ada keindahan dalam proses itu—keindahan merasakan setiap langkah hidup, merayakan setiap momen, meskipun kadang terasa menyakitkan. Saat mencintai, aku belajar untuk mencintai bukan hanya orang lain, tetapi juga diriku sendiri. Drama ini adalah pengingat bahwa aku harus berani menghadapi segala perasaan dan memberi makna pada setiap detail yang ada.
Dengan pemahaman ini, aku berupaya mengubah pandanganku terhadap kehidupan. Melalui gambaran hidup yang dramatis, aku bisa menemukan kekuatan untuk bangkit dan terus berjuang. Setiap gigitan rasa sakit mewakili keindahan yang harus kulalui untuk menemukan diri yang utuh. Dan dalam menemukan diri, aku belajar untuk mencintai secara utuh—mencintai prosesnya, bukan hanya hasilnya.
Aku adalah manusia penuh drama, dan dalam drama yang kusembunyikan itu, aku temukan jalanku menuju potret keindahan penuh warna. Aku akan terus menjadi aktor, penulis, dan penonton di panggung ini, merayakan hidup meski dalam kesedihan. Setiap tawa dan tangis adalah bagian dari pertunjukan yang berharga ini, dan aku akan terus berjuang demi setiap sensasi yang menggetarkan jiwa.