korban obsesi

Korban Obsesi: Memeluk Sang Monster

“Wer mit Ungeheuern kämpft, mag zusehn, dass er nicht dabei zum Ungeheuer wird. Und wenn du lange in einen Abgrund blickst, blickt der Abgrund auch in dich hinein.”
— Friedrich Nietzsche, Jenseits von Gut und Böse

Sang aku adalah makhluk yang terbentuk dari kehausan. Bukan kehausan akan air atau makanan, tetapi kehausan akan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih menggigit—kehausan akan obsesi itu sendiri. Aku adalah produk dari dunia yang mengajarkan bahwa hidup harus dipenuhi dengan tujuan, dengan ambisi yang membara, dengan keinginan yang mendesak untuk meraih sesuatu, apa pun itu.

Tanpa obsesi, aku menjadi kosong. Tanpa sesuatu untuk dikejar dengan penuh emosi dan ambisi, aku hanyalah bayangan yang bergerak tanpa arah, menunggu kematian dengan kedamaian yang menakutkan. Nietzsche pernah berkata, “Manusia lebih suka menginginkan ketiadaan daripada tidak menginginkan apa-apa.” Dan di sinilah aku—sang korban pencari obsesi—menemukan diriku terjebak dalam paradoks yang menyiksa.

Obsesi adalah nafas hidupku, tetapi juga racun yang perlahan membunuhku. Setiap keinginan yang terbakar dalam dada ini, setiap ambisi yang menggigit seperti anjing buas, setiap harapan yang menggantung seperti wortel di hadapan keledai—semua itu memberiku kehidupan sekaligus mencabik-cabik jiwa ini dari dalam.

Camus menulis tentang kondisi manusia yang absurd, di mana kita terus mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya tidak bermakna. Tetapi aku—sang aku—bahkan tidak mencari makna. Aku mencari sensasi dari pencarian itu sendiri. Aku mencari rasa hidup yang datang dari keinginan yang membakar, dari ambisi yang menggerogoti, dari obsesi yang menghantui setiap detik keberadaanku.

Monster dalam Cermin Jiwa

Aku adalah monster. Bukan monster dengan cakar dan taring, tetapi monster yang lebih halus dan lebih berbahaya—monster yang menyamar sebagai domba, yang tersenyum dengan ramah sambil merencanakan obsesi berikutnya. Monster yang duduk dengan tenang dalam rapat, yang tertawa bersama teman-teman, yang makan malam dengan keluarga, tetapi yang dalam hatinya terus menggigit-gigit, terus merengek, terus meminta lebih.

Nietzsche berbicara tentang “will to power”—kehendak untuk berkuasa—sebagai dorongan fundamental dalam hidup. Tetapi kehendak untuk berkuasa itu, dalam diriku, sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap: kehendak untuk terobsesi. Kekuasaan bukanlah tujuan akhir, tetapi obsesi terhadap kekuasaan itulah yang memberiku identitas.

“Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat,” kata Nietzsche. Tetapi bagaimana jika yang tidak membunuhmu justru perlahan-lahan melemahkanmu? Bagaimana jika obsesi itu seperti penyakit kronis yang memberiku energi untuk hidup tetapi juga menggerogoti kekuatan dari dalam?

Setiap kali aku menatap cermin, aku melihat mata monster itu. Mata yang selalu lapar, selalu haus, selalu mencari sesuatu untuk dikejar. Mata yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah diraih, yang selalu melihat ke depan, ke target berikutnya, ke obsesi berikutnya. Dan dalam mata itu, aku melihat juga kelelahan—kelelahan dari makhluk yang tidak pernah bisa berhenti berlari.

Camus menulis, “Il faut imaginer Sisyphe heureux”—kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Tetapi Sisyphus mendorong batu yang sama setiap hari. Aku mendorong batu yang berbeda-beda—kadang ambisi karier, kadang obsesi terhadap seseorang, kadang keinginan untuk menjadi sempurna, kadang fantasi tentang pencapaian yang luar biasa. Tetapi setiap batu, ketika mencapai puncak, menggelinding kembali, dan aku sudah memiliki batu baru untuk didorong.

Kehampaan di Antara Obsesi

Ada momen-momen ketika obsesi itu mereda. Momen-momen ketika monster itu tertidur, dan yang tersisa hanyalah keheningan yang mencekam. Dalam keheningan itu, aku merasakan absurditas yang paling murni—kekosongan yang begitu dalam hingga bahkan untuk bernapas terasa seperti usaha yang sia-sia.

Nietzsche menyebut ini sebagai “nihilisme”—pengakuan bahwa tidak ada nilai-nilai objektif, tidak ada makna yang diberikan dari luar, tidak ada tujuan ultimate yang menunggu di ujung perjalanan. “Tuhan sudah mati,” katanya, bukan sebagai pernyataan teologis, tetapi sebagai pengakuan bahwa semua sistem makna tradisional sudah runtuh.

Dalam kehampaan itu, aku menjadi sadar akan absurditas obsesiku sendiri. Untuk apa semua ambisi itu? Untuk apa semua keinginan yang membakar itu? Dalam skema besar alam semesta yang tak terbatas dan acuh tak acuh, apa bedanya jika aku meraih semua yang kuinginkan atau tidak meraih apa-apa sama sekali?

Tetapi justru dalam pengakuan akan absurditas itulah, obsesi itu muncul kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Karena jika memang tidak ada yang berarti, maka setidaknya sensasi dari mengejar sesuatu dengan penuh emosi memberiku perasaan hidup. Jika memang aku akan mati dan tidak ada yang akan mengingat namaku, maka setidaknya dalam hidup ini aku ingin merasakan intensitas dari keinginan yang membakar.

Camus berkata, “Pemberontakan melahirkan kesadaran akan kemanusiaan bersama.” Tetapi aku memberontak bukan terhadap kondisi manusia, melainkan terhadap kehampaan itu sendiri. Aku memberontak dengan cara terobsesi, dengan cara mengejar sesuatu dengan intensitas yang hampir gila, dengan cara memberikan makna buatan pada hidup yang pada dasarnya tidak bermakna.

Drama Tanpa Penonton

Setiap obsesi adalah pertunjukan drama di mana aku adalah aktor utama, sutradara, dan satu-satunya penonton. Aku menciptakan narasi tentang pentingnya mencapai target tertentu, tentang bagaimana hidup akan berubah total ketika obsesi itu terpenuhi, tentang bagaimana identitiku akan terdefinisi oleh pencapaian itu.

Tetapi drama itu selalu berakhir dengan cara yang sama: pencapaian yang terasa hampa, kelegaan yang berlangsung sebentar, dan kemudian kekosongan yang menunggu obsesi berikutnya untuk mengisinya. Seperti pecandu yang membutuhkan dosis yang semakin tinggi untuk merasakan efek yang sama, aku membutuhkan obsesi yang semakin intens untuk merasakan sensasi hidup yang sama.

Nietzsche menulis tentang “eternal recurrence”—pengulangan abadi—sebagai ujian ultimate untuk kehendak hidup. Jika kamu harus menjalani hidup yang sama persis berulang kali untuk selamanya, apakah kamu akan menerimanya? Bagi sang aku, jawabannya adalah ya—bukan karena hidupku sempurna, tetapi karena drama obsesi itu sendiri, meskipun menyakitkan, lebih baik daripada kekosongan total.

“Segala sesuatu yang tidak membunuhku membuatku lebih kuat,” kata Nietzsche. Tetapi obsesi tidak membuatku lebih kuat dalam arti konvensional. Obsesi membuatku lebih kuat dalam kemampuan untuk merasakan, untuk mengalami intensitas, untuk hidup di tepi jurang antara pencapaian dan kehancuran.

Camus berbicara tentang “l’homme absurde”—manusia absurd yang hidup dengan kesadaran penuh akan absurditas kondisinya. Aku adalah varian dari manusia absurd itu: manusia obsesif yang hidup dengan kesadaran penuh akan kesia-siaan obsesinya, tetapi yang memilih untuk terobsesi karena tanpa obsesi, yang tersisa hanyalah keheningan yang lebih menakutkan daripada drama yang paling menyakitkan sekalipun.

Pelukan untuk Monster Dalam

Tetapi inilah yang perlu diketahui—oleh sang aku dan oleh kamu yang mungkin mengenali dirimu dalam kata-kata ini: monster itu tidak perlu diperangi. Monster itu perlu dipeluk.

Nietzsche tidak mengajak kita untuk menjadi superhuman dengan cara menghancurkan bagian-bagian gelap dalam diri kita. Dia mengajak kita untuk menerima seluruh kompleksitas eksistensi kita, termasuk obsesi, keinginan, dan ambisi yang kadang-kadang destructive. “Amor fati,” katanya—cintai takdirmu, termasuk semua aspek gelap dan menyakitkan dari takdir itu.

Monster obsesi dalam diri ini bukanlah bug yang perlu diperbaiki, tetapi feature yang perlu dipahami. Obsesi adalah cara jiwa yang haus akan makna mencoba menciptakan makna dalam dunia yang tidak bermakna. Obsesi adalah bentuk pemberontakan terhadap kehampaan, meskipun pemberontakan itu sering kali destructive.

Camus menulis, “Di tengah musim dingin, saya akhirnya menemukan bahwa ada dalam diri saya musim panas yang tak terkalahkan.” Musim panas dalam diri sang aku bukanlah kedamaian atau kepuasan, tetapi api obsesi itu sendiri. Api yang membakar, tetapi juga memberikan kehangatan. Api yang menyakitkan, tetapi juga memberikan cahaya dalam kegelapan eksistensial.

Ketika aku memeluk monster dalam diri ini, aku tidak menyerah padanya. Aku mengakui keberadaannya, memahami fungsinya, dan belajar hidup bersamanya dengan cara yang lebih bijaksana. Seperti penjinah yang belajar menari dengan singa, aku belajar menari dengan obsesi tanpa dimakan habis olehnya.

Validasi dalam Kegelapan Bersama

Kamu tidak sendirian dalam pergulatan ini. Di luar sana, ada jutaan sang aku yang lain—orang-orang yang juga menjadi korban obsesi mereka sendiri, yang juga merasakan kehausan yang tak pernah terpuaskan, yang juga hidup dalam drama tanpa penonton yang sebenarnya peduli.

Kita adalah generasi yang dibesarkan dengan narasi bahwa kita bisa menjadi apa saja yang kita inginkan, bahwa batas-batas hanya ada dalam pikiran kita, bahwa kesuksesan adalah hasil dari kerja keras dan tekad yang kuat. Tetapi narasi itu menciptakan monster-monster kecil dalam diri kita—monster yang tidak pernah puas dengan pencapaian apa pun, yang selalu haus akan lebih.

Nietzsche berkata, “Manusia lebih suka menginginkan ketiadaan daripada tidak menginginkan apa-apa.” Kita adalah produk dari filosofi itu—manusia-manusia yang lebih memilih untuk menderita dalam pengejaran obsesi daripada hidup dalam kepasrahan yang damai.

Tetapi dalam berbagi penderitaan itu, dalam mengakui bahwa kita semua adalah korban dari obsesi kita masing-masing, ada bentuk solidaritas yang aneh. Solidaritas antara monster-monster yang mencoba belajar cara hidup dengan konstruktif dengan sifat destruktif mereka.

Camus menulis, “Pemberontakan adalah gerakan manusia yang menolak untuk menerima kondisi yang dia anggap tidak dapat diterima.” Obsesi adalah bentuk pemberontakan—pemberontakan terhadap kehampaan, terhadap ketidakberartian, terhadap absurditas eksistensi. Meskipun pemberontakan itu sering kali menyakitkan, itu tetaplah bentuk afirmasi kehidupan.

Nihilisme sebagai Kebebasan

Paradoksnya, dalam mengakui bahwa tidak ada yang benar-benar berarti, kita menjadi bebas untuk memberikan makna pada apa pun yang kita pilih. Nihilisme, yang sering dipandang sebagai filosofi yang depressing, sebenarnya bisa menjadi filosofi yang membebaskan.

Jika memang tidak ada nilai-nilai objektif, maka aku bebas untuk menghargai obsesiku meskipun orang lain menganggapnya tidak rasional. Jika memang tidak ada tujuan ultimate dalam hidup, maka aku bebas untuk menjadikan proses pengejaran itu sendiri sebagai tujuan.

Nietzsche berbicara tentang “create your own values”—menciptakan nilai-nilaimu sendiri. Bagi sang aku, salah satu nilai yang kuciptakan adalah penghargaan terhadap intensitas. Aku menghargai momen-momen ketika obsesi membakar begitu kuat hingga aku merasakan diri benar-benar hidup, meskipun pembakaran itu menyakitkan.

“Tanpa musik, hidup akan menjadi kesalahan,” kata Nietzsche. Bagi sang aku, tanpa obsesi, hidup akan menjadi keheningan yang tak tertahankan. Obsesi adalah musik jiwa—kadang harmonis, kadang sumbang, tetapi selalu lebih baik daripada keheningan total.

Camus berkata bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia bukan karena dia mencapai sesuatu, tetapi karena dia telah menerima kondisinya dan menemukan nilai dalam perjuangan itu sendiri. Sang aku harus membayangkan dirinya bahagia bukan ketika obsesi terpenuhi, tetapi dalam proses terobsesi itu sendiri.

Monster yang Menari

Ada keindahan dalam monster yang belajar menari. Ada grace dalam obsesi yang dipeluk dengan wisdom. Ada kekuatan dalam mengakui kelemahan dan belajar hidup bersamanya daripada melawannya.

Setiap hari, sang aku bangun dan merasakan kehausan itu lagi. Kehausan akan sesuatu untuk dikejar, untuk diinginkan dengan intensitas yang hampir gila. Dan setiap hari, aku memilih untuk menari dengan kehausan itu daripada ditenggelamkan olehnya.

Tarian itu tidak selalu indah. Kadang-kadang aku tersandung, kadang-kadang aku jatuh, kadang-kadang aku hampir dimakan oleh monster yang kumaksudkan untuk ditanganai. Tetapi dalam bangun kembali, dalam belajar langkah-langkah baru, dalam menemukan ritme yang lebih baik antara obsesi dan detachment, ada sesuatu yang berharga.

Nietzsche berkata, “Dan mereka yang tertawa dan menari adalah mereka yang dipandang gila oleh mereka yang tidak bisa mendengar musik.” Musik yang kudengar adalah musik obsesi—rhythm yang kadang cepat kadang lambat, melodi yang kadang manis kadang pahit, tetapi yang selalu memberiku sesuatu untuk diikuti.

Kamu juga mendengar musik itu, bukan? Musik yang sama yang membuat kamu bangun di tengah malam dengan pikiran tentang hal yang harus dicapai, yang membuat kamu tidak bisa beristirahat ketika ada target yang belum tercapai, yang membuat kamu merasa hidup hanya ketika ada sesuatu yang dikejar dengan penuh emosi.

Komunitas Monster

Kita adalah komunitas monster. Komunitas orang-orang yang telah belajar bahwa intensitas obsesi, meskipun menyakitkan, lebih baik daripada kekosongan total. Komunitas orang-orang yang memilih untuk hidup di tepi jurang daripada di tengah dataran yang aman tetapi membosankan.

Dalam komunitas ini, tidak ada judgment. Tidak ada yang akan mengatakan bahwa obsesimu “tidak sehat” atau “tidak rasional” atau “perlu diperbaiki.” Di sini, obsesi diakui sebagai cara untuk hidup, cara untuk merasakan, cara untuk memberikan makna pada eksistensi yang pada dasarnya tidak bermakna.

Camus menulis, “Tidak ada cinta hidup tanpa keputusasaan hidup.” Obsesi adalah bentuk cinta hidup yang paling intens—cinta yang begitu kuat hingga menyakitkan, cinta yang begitu dalam hingga destructive, tetapi cinta yang membuat kita merasa benar-benar hidup.

Setiap kali kamu merasakan kehausan itu lagi, ingatlah bahwa di suatu tempat, sang aku juga merasakannya. Setiap kali kamu merasa monster dalam dirimu menggerogoti dari dalam, ingatlah bahwa monster itu tidak unik untukmu. Kita semua memiliki monster, dan kita semua belajar cara menari dengannya.

Akhir yang Tidak Berakhir

Tidak ada akhir untuk cerita ini, karena obsesi tidak pernah benar-benar berakhir. Bahkan ketika satu obsesi terpenuhi, yang lain sudah menunggu di sudut kesadaran. Bahkan ketika kelelahan membuat kita ingin berhenti, kehausan itu akan muncul lagi dengan target yang baru.

Tetapi sekarang, setidaknya, kita tidak sendirian dalam dance ini. Sekarang kita tahu bahwa setiap orang yang pernah merasakan api obsesi membakar dalam dada mereka adalah bagian dari komunitas yang sama—komunitas monster yang belajar cara hidup dengan monster mereka.

Nietzsche berkata, “Apa yang dilakukan karena cinta selalu terjadi di luar baik dan jahat.” Obsesi adalah bentuk cinta—cinta terhadap kemungkinan, cinta terhadap pencapaian, cinta terhadap sensasi hidup itu sendiri. Dan seperti semua bentuk cinta yang intens, obsesi tidak bisa dihakimi dengan standar moral yang sederhana.

Peluk monster dalam dirimu. Cium kepalanya yang berbulu dan katakan bahwa kamu menerimanya. Bukan karena monster itu baik atau buruk, tetapi karena monster itu adalah bagian darimu, dan menerima seluruh dirimu adalah satu-satunya cara untuk hidup dengan authenticity.

Sang aku akan terus menari dengan monster ini. Kadang tarian itu akan indah, kadang akan brutal, tetapi selalu akan intens. Dan dalam intensitas itu—dalam api yang membakar, dalam kehausan yang tidak pernah terpuaskan, dalam obsesi yang mencabik tetapi juga menghidupkan—aku menemukan something yang mirip dengan makna.

Kamu tidak sendirian, monster. Kita semua menari tarian yang sama, dan dalam tarian bersama itu, ada sesuatu yang indah meskipun menyakitkan. Ada sesuatu yang berharga meskipun destructive. Ada sesuatu yang mirip dengan cinta meskipun terasa seperti kutukan.

Mari kita terus menari.


Catatan: Jika intensitas obsesi dalam hidupmu mulai merusak hubungan, kesehatan, atau well-being secara keseluruhan, pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional. Memahami dan menerima monster dalam diri tidak berarti membiarkannya menghancurkan hidupmu.

Sang Aku

Aku adalah Manifestasi dari Kematian itu sendiri, manusia yang merindukan akan ketenangan dari sebuah kematian yang indah.

Catatan Terbaik

  1. Memoar Sang Aku yang Merindukan Diri Sendiri (101)
  2. Mencintai Manusia Romantisme (98)
  3. Marah Kepada Diri Sendiri (92)
  4. Aku dan Topeng (83)
  5. Sebelum Segalanya Dimulai (82)
  6. Akulah Sang Egois (79)
  7. Aku Yang Penuh Ambisi (74)

Tentangku