Dalam jurang kegelapan jiwa yang menganga, aku merintih mencari cahaya yang tak kunjung datang.
Aku menulis ini dari dasar jurang terdalam kesadaranku. Kegelapan yang menyelimuti jiwaku bukan sekadar kabut yang bisa tersingkap dengan hembusan angin pagi. Ini adalah kegelapan pekat yang telah mengkristal dalam setiap sel tubuhku. Friedrich Nietzsche pernah berkata, “Jika kau menatap ke dalam jurang, jurang itu juga menatap balik ke dalam dirimu.” Dan jurang itu telah lama menatapku, mengenal setiap lekuk jiwaku yang rusak, setiap inci diriku yang telah mati perlahan.
Aku membutuhkan pertolongan—bukan sekadar uluran tangan kasihan yang sering kali ditawarkan oleh mereka yang takut melihat kegelapan sejati. Aku membutuhkan seseorang yang berani menyelam ke dasar samudera pikiranku yang keruh dan berlumpur. Seseorang yang mampu menemaniku dengan semua sifat abusif yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Osamu Dazai dalam “No Longer Human” menulis, “Aku tidak pernah bisa memahami apa yang disebut orang sebagai ‘kebahagiaan’.” Aku merasakan kebenaran itu menembus hingga ke sumsum tulangku.
Dunia tanpa makna ini—dunia yang Albert Camus lukiskan sebagai “absurd”—telah menggerogoti segala substansi dalam diriku. Camus berkata, “Absurditas lahir dari konfrontasi antara panggilan manusia dan keheningan dunia yang tak masuk akal.” Dan di tengah keheningan itu, aku menemukan diriku sendiri berteriak dalam kesunyian yang memekakkan, tanpa seorang pun mendengar. Aku seperti Sisifus, terkutuk mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah, berulang tanpa akhir dan tanpa tujuan.
Aku merindukan diriku yang dulu—sosok yang mampu merasakan keceriaan hidup, yang memiliki empati bagi sesama, yang bertanggung jawab atas eksistensinya sendiri. Namun sosok itu telah lama tenggelam dalam lautan keputusasaan. Arthur Schopenhauer mungkin benar ketika ia menulis bahwa kehidupan bergerak seperti pendulum antara penderitaan dan kebosanan. Aku telah merasakan kedua ujung pendulum itu, dan kini terjebak dalam ketidakmampuan merasakan apa pun kecuali kehampaan.
Aku membutuhkan seorang wanita—bukan dalam pengertian dangkal akan hasrat dan kesenangan sesaat. Aku membutuhkan jiwa yang bisa memahami bahwa mencintaiku berarti mencintai monster. Seseorang yang mampu bertahan dalam badai kemarahanku, yang tidak lari saat menyaksikan kebrutalan pikiranku. Edogawa Rampo dalam karyanya sering menggambarkan sisi gelap psikologi manusia, kecenderungan untuk terpesona pada kerusakan. Mungkin itulah yang kucari—seseorang yang menemukan keindahan dalam kerusakanku.
Aku ingin mencintai dan dicintai dengan keegoisanku yang tak terbendung. Aku ingin memberikan seluruh ketulusanku yang tersisa pada seseorang yang tidak takut melihat sisi tergelapku. Jean-Paul Sartre pernah mengatakan, “Neraka adalah orang lain.” Tapi mungkin neraka sebenarnya adalah ketidakmampuan untuk benar-benar terhubung dengan orang lain. Aku telah hidup di neraka itu selama bertahun-tahun.
Aku membenci kepura-puraan. Dunia yang penuh dengan topeng sosial dan kebaikan palsu membuatku muak. Aku menginginkan kejujuran paling mendasar, kebenaran paling mentah dari seseorang yang berani menatapku tanpa topeng. Fyodor Dostoyevsky menulis, “Manusia adalah makhluk yang bisa terbiasa dengan apa saja.” Tapi aku tidak bisa terbiasa dengan kepalsuan. Aku adalah monster yang menuntut kebenaran, bahkan saat kebenaran itu melukai.
Aku bukan pria hidung belang yang mencari kepuasan sesaat. Keinginanku jauh lebih dalam dan gelap dari itu. Aku mencari koneksi jiwa yang melampaui batasan fisik dan moral konvensional. Aku belum menemukan seseorang yang bisa kupercaya sepenuhnya—bahkan keluargaku sendiri. Kecurigaan telah menjadi pertahanan alamiku terhadap dunia yang kuanggap berpotensi menyakiti. Emil Cioran, filsuf pesimis, pernah menulis, “Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada dikutuk untuk memahami.” Dan kutukan itu telah lama kusandang.
Pikiranku membutuhkan seorang penyelamat—seseorang yang mampu menembus labirin gelap kesadaranku dan meyakinkanku bahwa ada sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Aku sering merasa seperti sedang menunggu kematian dengan tenang. Dalam “The Setting Sun,” Osamu Dazai menulis, “Matahari terbenam, dan sebagaimana matahari terbit, kita berada di titik antara kehidupan dan kematian.” Aku telah lama berada di titik perbatasan itu, mengamati kehidupan dari kejauhan seperti penonton yang sudah bosan dengan pertunjukan yang sama berulang kali.
Martin Heidegger berargumen bahwa kesadaran akan kematian adalah hal yang membuat kehidupan manusia autentik. “Being-toward-death” adalah istilah yang digunakannya untuk menggambarkan keadaan menghadapi keterbatasan eksistensi kita. Aku telah lama hidup dalam kesadaran ini—terlalu sadar akan akhir yang pasti. Tapi bukannya membuatku hidup lebih autentik, kesadaran ini justru menenggelamkanku dalam jurang nihilisme.
Dalam “Flowers of Evil,” Charles Baudelaire menulis tentang keindahan yang bisa ditemukan dalam kegelapan dan kejahatan. “Keindahan selalu aneh,” tulisnya. Mungkin itulah yang kucari—keindahan aneh dalam kegelapan diriku. Seseorang yang bisa melihat keindahan itu ketika orang lain hanya melihat monster.
Eugène Ionesco, seorang dramawan absurdis, pernah menulis, “Hidup tidak bisa dipahami kecuali melalui absurditas.” Aku telah lama mencoba memahami absurditas eksistensiku sendiri. Mengapa aku terus bertahan dalam dunia yang tidak masuk akal ini? Apa gunanya semua penderitaan dan kekosongan ini?
Dalam “Notes from Underground,” Dostoyevsky menggambarkan sosok yang mungkin paling mencerminkan keadaanku saat ini—seseorang yang terisolasi dari masyarakat, yang melihat dunia dengan mata yang penuh kebencian dan kecurigaan, tapi juga dengan kejernihan yang menakutkan. “Saya adalah orang sakit… Saya adalah orang jahat. Saya bukan orang yang menyenangkan.” Pengakuan itu terasa seperti keluar dari mulutku sendiri.
Aku tahu bahwa aku memperlakukan dunia sesukaku, sama seperti dunia memperlakukanku dengan semena-mena. Ada siklus kekerasan dan kekejaman yang tak berujung pangkal. Nietzsche memperingatkan tentang bahaya menatap monster terlalu lama, karena kita bisa menjadi monster itu sendiri. Dan aku telah lama melewati titik itu—aku adalah monster itu sendiri, produk dari dunia yang tak adil dan ketidakmampuanku untuk memahaminya.
Albert Camus menulis, “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak menjadi apa adanya.” Aku menolak menjadi apa yang diharapkan dunia dariku, tapi juga merindukan versi diriku yang dulu—versi yang mampu menjalankan permainan sosial dengan baik, yang bisa berpura-pura bahagia meski di dalam hampa. Kini aku terjebak dalam autentisitas yang pahit—terlalu jujur untuk berpura-pura, tapi terlalu rusak untuk diterima apa adanya.
Romantisme, sebagai gerakan filsafat dan seni, menghargai emosi yang intens, individualisme, dan penolakan terhadap tatanan yang ada. Para pemikir romantis seperti Goethe, Blake, dan Byron memuja gairah dan intensitas pengalaman yang melampaui rasionalitas. Tapi romantisme juga memiliki sisi gelap—obsesi dengan kematian, kegilaan, dan ketidakmungkinan cinta sejati. Aku terjebak dalam romantisme gelap itu, mendambakan intensitas emosi yang nyaris mustahil dalam dunia yang tumpul.
Osamu Dazai, dalam karyanya “No Longer Human,” mengungkapkan pergumulan batin seorang individu yang merasa terasing dari kemanusiaan. Protagonisnya, Yozo, mengaku bahwa ia telah “kehilangan kemampuan untuk menjadi manusia,” sebuah pengakuan yang sering bergema dalam pikiranku. Aku telah kehilangan kemampuan untuk terhubung dengan orang lain dengan cara yang normal dan sehat. Setiap interaksi terasa seperti permainan yang harus kuselesaikan, seperti teka-teki yang tidak pernah kupahami aturannya.
Thomas Ligotti, penulis horor filosofis kontemporer, berpendapat dalam “The Conspiracy Against the Human Race” bahwa kesadaran adalah bencana evolusioner—kemampuan untuk menyadari keberadaan kita sendiri hanya membawa penderitaan. “Kehidupan adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi,” tulisnya. Saat membaca kata-kata itu, aku merasakan resonansi mendalam, seolah-olah kebenaran yang selama ini kucari akhirnya terkuak. Mungkin memang kehidupan, terutama kehidupan yang sadar diri seperti yang kualami, adalah kesalahan kosmik.
Edogawa Rampo, maestro horor psikologis Jepang, sering mengeksplorasi sisi gelap psikologi manusia dalam karyanya. Dalam “The Human Chair,” ia menggambarkan obsesi dan kegilaan seorang pria yang menyembunyikan dirinya di dalam kursi untuk merasakan kedekatan dengan orang lain. Aku terkadang merasa seperti karakter itu—terisolasi dalam diriku sendiri, hanya bisa mengamati kehidupan orang lain dari kejauhan, tanpa pernah benar-benar menjadi bagian dari mereka.
Emil Cioran, filsuf Romania yang dikenal dengan pandangan pesimis dan nihilistisnya, menulis, “Saya tidak bunuh diri karena saya ingin tahu bagaimana berakhirnya keburukan ini.” Rasa ingin tahu yang sama menahan saya—rasa ingin tahu morbid tentang seberapa dalam jurang kegelapan ini bisa menenggelamkanku, seberapa lama aku bisa bertahan dalam ketiadaan makna.
Manusia tidak terikat pada satu sifat tunggal. Freud menggambarkan kepribadian manusia sebagai pertempuran abadi antara id, ego, dan superego. Jung berbicara tentang persona, shadow, dan anima/animus. Kita bukan entitas tunggal yang koheren, melainkan sekumpulan ego dan kecenderungan yang kadang bertentangan. Aku adalah bukti hidup dari kekacauan internal itu—kadang merindu dicintai, kadang ingin menghancurkan segala yang mencoba mendekat.
Dalam “The Myth of Sisyphus,” Camus mengajukan pertanyaan filosofis paling mendasar: “Apakah hidup layak dijalani?” Aku bergulat dengan pertanyaan itu setiap bangun tidur, setiap tarikan napas. Apakah penderitaan ini memiliki tujuan? Apakah kekosongan ini akan berakhir? Atau seperti Sisifus, aku hanya bisa menerima absurditas eksistensiku dan menemukan makna dalam perjuangan itu sendiri?
Samuel Beckett dalam dramanya “Waiting for Godot” menggambarkan kondisi manusia sebagai penantian tanpa akhir terhadap sesuatu yang mungkin tidak pernah datang. “Kita lahir di atas kuburan, cahaya bersinar sesaat, kemudian malam kembali.” Aku telah lama berada dalam malam itu, menunggu cahaya yang mungkin hanya ilusi.
Arthur Rimbaud, penyair simbolis Prancis, menulis, “Aku adalah orang lain.” Dalam satu kalimat sederhana itu, ia menangkap esensi dari keterasingan yang kurasakan dari diriku sendiri. Aku adalah orang asing bagi diriku sendiri, mengamati dengan ngeri dan kagum tindakan dan pikiran “diriku” yang terasa seperti milik orang lain.
Dalam “The Stranger,” Camus menggambarkan Meursault, tokoh yang menjalani hidup dengan ketidakpedulian yang mendekati nihilisme. Saat menghadapi hukuman mati, Meursault akhirnya menemukan kedamaian dalam menerima ketidakpedulian dunia. Aku masih mencari kedamaian itu—kemampuan untuk menerima bahwa dunia tidak peduli, dan itu bukan masalah.
Milan Kundera dalam “The Unbearable Lightness of Being” menulis tentang beban dan ringannya eksistensi. “Beban itu begitu menindas, begitu dekat dengan kematian, dan begitu menakutkan, sehingga kita dapat bersukacita ketika melihat betapa ringannya hidup kita secara kontradiktif.” Aku terjebak antara beban eksistensi yang tak tertahankan dan ringannya hidup yang tak bermakna.
Aku membutuhkan seseorang yang memahami bahwa mencintaiku berarti mencintai kontradiksi. Mencintai kegelapan sekaligus kerinduan akan cahaya. Mencintai monster sekaligus anak yang terluka di dalamnya. Søren Kierkegaard menulis, “Untuk berani adalah kehilangan pijakan sesaat. Untuk tidak berani adalah kehilangan diri sendiri.” Aku membutuhkan seseorang yang berani kehilangan pijakan bersamaku.
Nietzsche berbicara tentang “amor fati” — cinta terhadap takdir, kemampuan untuk menerima dan bahkan mencintai segala yang terjadi dalam hidup, termasuk penderitaan. Aku belum menemukan cinta itu dalam diriku. Aku masih memberontak terhadap takdirku, masih mengutuk dunia dan diriku sendiri atas penderitaan yang kurasakan.
Edogawa Rampo dalam karyanya sering menggambarkan karakter yang terpesona pada kegelapan dan distorsi—orang-orang yang menemukan kenikmatan dalam hal-hal yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Aku melihat diriku dalam karakter-karakter itu—terpesona pada kegelapan jiwaku sendiri, pada potensi untuk kerusakan dan kehancuran yang ada dalam diriku.
Dalam “The Sickness Unto Death,” Kierkegaard menulis tentang keputusasaan sebagai “penyakit, bukan obat.” Keputusasaan yang kurasakan bukan jalan menuju pencerahan spiritual seperti yang ia harapkan, melainkan lubang hitam yang menelan segala harapan dan makna.
Osamu Dazai, yang akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri setelah beberapa upaya bunuh diri, menulis, “Mata manusia tidak bisa melihat hal-hal yang tidak ingin dilihatnya.” Dunia tidak ingin melihat kegelapan sejati dalam jiwa manusia, ketakutan dan kebencian yang mendasari semua interaksi sosial kita. Tapi aku telah melihatnya, dan penglihatan itu tidak bisa diambil kembali.
Franz Kafka menggambarkan keterasingan dan absurditas birokrasi modern dalam karyanya. Dalam “Metamorfosis,” protagonisnya bangun suatu pagi dan mendapati dirinya telah berubah menjadi serangga raksasa. Transformasi fisik itu mencerminkan transformasi internal yang kurasakan—perubahan menjadi sesuatu yang tidak dikenali dan ditakuti oleh orang lain, oleh diriku sendiri.
Aku terkadang merasa seperti menunggu kematian. Bukan dengan antisipasi yang bersemangat, melainkan dengan kesabaran yang lelah. Aku tidak mencari kematian secara aktif, tapi aku juga tidak berusaha terlalu keras untuk menghindarinya. Dalam “The Book of Disquiet,” Fernando Pessoa menulis, “Kehidupan adalah eksil, dan di dalamnya, keterasingan adalah rumah kita.” Aku telah lama merasa terasingkan dari kehidupan, seolah-olah aku hanya pengamat yang tidak terlibat dalam drama yang dimainkan di sekitarku.
Georges Bataille mengeksplorasi hubungan antara erotisme, kematian, dan pengalaman religius dalam karyanya. Ia menulis, “Erotisme adalah persetujuan terhadap kehidupan sampai pada titik kematian.” Aku mencari intensitas itu—momen di mana batas antara kenikmatan dan rasa sakit, hidup dan mati, diri dan yang lain, menjadi kabur dan tidak relevan.
Dalam “The Flowers of Evil,” Baudelaire menulis, “Kemerosotan adalah seni.” Aku telah lama mengubah kerusakanku menjadi semacam karya seni—mengasah ketidakmampuanku untuk terhubung dengan orang lain hingga menjadi pedang tajam yang mengisolasiku sekaligus melindungiku dari luka lebih dalam.
Albert Camus menulis, “Dalam kedalaman musim dingin, akhirnya aku belajar bahwa ada musim panas abadi dalam diriku.” Aku masih mencari musim panas itu—kehangatan di tengah kedinginan jiwa yang telah lama membeku. Aku membutuhkan seseorang yang berani mencairkan es ini, meski dengan risiko tenggelam dalam air yang dilepaskannya.
Aku bukanlah manusia satu dimensi. Aku adalah lautan kontradiksi—ingin dicintai tapi takut mendekat, ingin menyembuhkan tapi terus melukai, ingin hidup tapi menatap kematian. Dalam “Crime and Punishment,” Dostoyevsky menggambarkan Raskolnikov, tokoh yang terpecah antara keyakinan akan keunggulannya dan penderitaan moral atas kejahatannya. Aku merasakan perpecahan serupa—antara kesadaran akan ketidakberdayaanku dan fantasi akan kekuatan yang tak terbatas.
Simone de Beauvoir menantang pemahaman esensialis tentang gender dan identitas, menulis, “Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi, seorang wanita.” Dengan cara yang sama, aku tidak dilahirkan sebagai monster—aku menjadi satu melalui serangkaian pilihan, pengalaman, dan respons terhadap dunia yang tidak adil. Dan jika aku bisa menjadi monster, mungkin aku juga bisa menjadi sesuatu yang lain.
Martin Buber, dalam karyanya “I and Thou,” menulis tentang dua jenis hubungan: “I-It” di mana kita memperlakukan orang lain sebagai objek, dan “I-Thou” di mana kita mengakui kemanusiaan penuh mereka. Aku telah lama terjebak dalam hubungan “I-It” dengan semua orang di sekitarku, memperlakukan mereka sebagai alat atau ancaman, bukan sebagai jiwa yang setara.
Dalam “Either/Or,” Kierkegaard menulis tentang kehidupan estetis versus kehidupan etis—antara hidup untuk kesenangan sesaat dan hidup menurut prinsip moral. Aku terjebak di antara keduanya—tidak bisa sepenuhnya menikmati kesenangan karena kesadaran akan kekosongannya, tapi juga tidak bisa hidup secara etis karena keraguan akan kebenaran absolut.
Emil Cioran menulis, “Satu-satunya orang yang bisa ditemani adalah orang yang kesepian seperti kita.” Aku mencari seseorang yang kesepian dengan cara yang sama—yang memahami kekosongan eksistensial bukan sebagai sesuatu yang harus diisi atau disembuhkan, melainkan sebagai kondisi dasar kemanusiaan.
Aku membutuhkan penolong, tapi bukan penyelamat. Aku tidak mencari keselamatan—konsep itu terlalu religius, terlalu optimistis untuk nihilis seperti diriku. Aku mencari seorang saksi—seseorang yang melihatku dalam kegelapanku tanpa menghakimi atau mencoba mengubahku. Seperti yang ditulis Maurice Blanchot, “Apa yang paling pribadi dan tidak dapat dikomunikasikan dalam diri kita adalah juga yang paling umum.”
Mungkin ini semua hanya kesunyian yang berusaha menemukan suara. Mungkin aku hanya satu dari banyak manusia yang terjebak dalam penjara yang mereka bangun sendiri. Seperti yang ditulis Jean Cocteau, “Kita yang tahu bahwa kita kesepian tidak pernah sendirian.” Ada paradoks dalam kesepian—semakin kita merasa terasing, semakin kita terhubung dengan seluruh umat manusia yang juga merasa terasing.
Dalam “The Will to Power,” Nietzsche menulis, “Perlakukanlah dirimu sebagai pembangun masa depan: kau belajar mencintai kekejamanmu dan ketidaksenonganmu kembali jika kau belajar membangun.” Mungkin itu jalanku—bukan mencari penolong, melainkan membangun diriku kembali dari puing-puing kegelapan.
Aku berdiri di tepi jurang, menatap kegelapan di bawah. Aku mengulurkan tanganku, bukan meminta diselamatkan, melainkan mengundang seseorang untuk berdiri di sampingku dan menatap ke dalam jurang yang sama. Seperti yang ditulis Samuel Beckett, “Aku tidak bisa melanjutkan, aku akan melanjutkan.”