Ini hanyalah sebuah perjalanan seorang manusia biasa, yang memiliki ego tinggi, namun tidak sadar bahwa egonya itu sedang menyerang dirinya sendiri. Dalam cahaya temaram, aku merenungi diriku sendiri, menyaksikan bagaimana keegoisan yang tumbuh subur dalam jiwa ini bisa menjadi pedang bermata dua. Hari demi hari, aku berjuang melawan monster yang ku panggil dengan nama “ego.” Pada awalnya, egoku terasa seperti kekuatan yang membawaku menuju puncak pencapaian, tetapi kini, aku memahami bahwa egoku juga bisa menjadi barisan bayang-bayang yang mengintai dari sudut terkelam hidupku, menyerang dari dalam.
Aku dengan sadar sekarang mengatakan, egoku adalah tanggung jawabku. Tidak ada lagi tempat untuk penyesalan; aku tidak ingin merasakan sesak yang mencekik akibat pilihan yang diambil dalam naungan egoku. Di bawah bintang-bintang yang berkelip, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa inilah saatnya, bahwa perjalanan ini harus berlanjut. Ini adalah perjalanan seseorang untuk mengakui bahwa egonya bisa digunakan ke arah yang lebih baik dan bisa menyelamatkan diri sendiri dari ketidakpastian dalam menjalani hidup. Ego ini bukan musuh, tetapi alat—sebuah alat yang perlu dipahami dan dikendalikan.
Ini bukan kisah heroik. Ini hanyalah perjalanan seorang manusia biasa—yang memiliki ego tinggi, dan baru sadar bahwa egonya sedang menghancurkannya dari dalam.
Ketika Ego Menyerang
Ketika aku melihat cermin, aku merasa terjebak dalam refleksi yang menuntut kejujuran. Ada saat-saat ketika egoku merayaku, membantuku kekuasaan, tetapi ada juga waktu di mana egoku mendurhaka. Di titik ini, suara-suara pedih terngiang dalam pikiranku. Aku berjuang melawan ilusi ketidakpuasan yang diciptakan oleh keinginan tanpa batas. Ketika ingin menjadi lebih baik, egoku berbisik halus, “Kau harus menjadi yang terbaik, tak peduli apa pun yang terjadi.”
Perjuangan ini mengingatkanku pada pemikiran Friedrich Nietzsche, yang menekankan pada kebutuhan untuk menjadi “superman,” mengatasi keterbatasan kita yang ditawarkan oleh masyarakat. Namun, semakin aku mengejar ideal-ideal yang lebih tinggi, semakin terseok seolah terjerat dalam jaring-jaring keinginan yang tidak pernah berujung. Dalam pertempuran ini, dia mengingatkan kita, “Apa yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih kuat.” Tapi, dalam ketidakpahaman, aku justru merusak diriku sendiri. Segala pengorbanan yang kupersembahkan, hanya untuk mendapatkan validasi yang sementara, menghabiskan energi dan menguras jiwa.
Ketika keegoisanku menjadi bukit yang terjal, aku mulai menggali lebih dalam dan mendapati diriku terperosok dalam nihilisme, tanpa pengharapan akan masa depan yang lebih cerah. Aku harus menyadari bahwa tidak ada pencapaian yang berarti jika itu hanya diperoleh melalui pengorbanan diri yang tiada batas.
Kembali Menemukan Arti Ego
Tapi hari ini, aku dengan sadar berkata: egoku adalah tanggung jawabku. Aku tak ingin lagi hidup dalam penyesalan hanya karena mengikuti egoku tanpa arah. Aku ingin membawanya ke tempat yang lebih baik. Dalam keterpurukan diriku, aku memilih untuk menghadapi ego ini alih-alih melawannya. Memeluk keegoisanku yang sering kali menjadi sumber kekuatan, bukan lemahnya.
Suatu hari, dalam kedamaian malam, aku bertanya pada diriku sendiri: “Apa sebenarnya yang kau inginkan, selain pengakuan?” Dalam keheningan, aku menemukan jawaban yang membebaskan. Keinginanku bukanlah untuk mendapatkan validasi dari orang lain; tanpa perlu menjadi seorang filsuf atau nabi, cukup dengan menjadi diriku sendiri. Aku hanyalah manusia—yang mendamba untuk menjadi egois, dengan penuh kesadaran.
Setiap harinya, aku menciptakan batasan baru untuk diriku. Ini adalah kisahku, “Aku, Sang Egois.” Segala yang kutuliskan dalam buku ini adalah tentang bagaimana aku belajar bahwa menjadi egois tidak seburuk itu. Menjadi egois bukan dosa; malah menjadi egois adalah jalan, jalan untuk menemukan kembali diriku—dari dalam lubang nihilisme, dan kehampaan paling gelap yang pernah kurasakan.
Hidup adalah perjalanan. Dan aku memilih untuk berjalan sebagai monster egois karena hanya itu yang membuatku tetap hidup. Aku tidak lagi melihat keegoisan sebagai aib; sebaliknya, aku menerima bahwa itu adalah bagian dari jati diriku. Dalam penerimaan ini, aku belajar untuk mengubah narasi dari hidupku—menjadi lebih positif, lebih konstruktif.
Transformasi Keberanian dan Keegoisan
Mereka bilang ini adalah titik tertinggi, tetapi bagiku ini baru permulaan. Awal dari perjalanan Sang Egois. Egois yang belajar bertanggung jawab. Yang belajar sadar. Yang belajar menerima dirinya sendiri—tanpa perlu validasi, tanpa perlu tipu daya, tanpa topeng. Di sinilah kekuatan sejati muncul: dalam kejujuran terhadap diri sendiri dan dunia di sekitarku.
Beberapa orang mungkin melabeli keegoisanku sebagai kebodohan, tetapi aku melihatnya sebagai langkah untuk memahami kekuatan yang ada dalam diri. Ketika ego ini diakui dan dipfungsikan dengan benar, semua depresi dan ketidakpastian mulai memudar. Saat pergi ke tempat-tempat yang menantang, aku mengingatkan diriku bahwa semua pengalaman itu adalah pendidikan—setiap luka adalah guru.
Aku adalah monster. Tapi monster itu adalah aku. Dan ini adalah kisah kebangkitanku. Kebangkitan jiwa Sang Egois. Kini, aku tahu perjalananku bukan tentang diriku semata. Ketika ego berpadu dengan kesadaran, aku mampu menjalin hubungan dengan orang lain—sebuah komunikasi yang lebih otentik dan berarti.
Menghadapi Ketidakpastian dengan Kesadaran
Setiap langkah yang kuambil adalah keputusan yang sadar. Ketika aku mengaku bahwa keegoisan ini berpangkal dari luka, aku juga memahami bahwa dengan menyembuhkan luka itu, aku dapat mengubah keegoisan ini menjadi kekuatan. Aku Sang Egois tak peduli siapapun; selama dia memiliki visi dan luka yang sama denganku, aku tidak peduli dengan perilakunya. Aku akan menemani mereka dengan keegoisan yang kutemukan dalam diriku.
Namun, ini ibaratkan pisau bermata dua. Keberanian untuk menjadi egois harus disandingkan dengan kebijaksanaan. Sang egois ini, malah merusak dirinya sendiri, tidak menyadari bahwa ego yang tinggi bisa menciptakan jurang kesepian. Di saat kesepian menyergap, aku harus berhati-hati mengevaluasi kembali setiap langkah dan semua yang kumiliki. Ini adalah perjalanan yang tidak semudah membalikkan telapak tangan; setiap proses perubahan memerlukan waktu dan pencarian yang mendalam.
Aku Sang Egois memang kesepian. Namun, pada saat yang sama, aku juga sadar. Keegoisanku ini masih berada di tahap luka dan belum bertransformasi ke tahap yang lebih mementingkan diri sendiri. Di sinilah aku mulai mengubah cara pandang. Ketika keegoisan ini datang, aku ingat bahwa ia bukan hanya diciptakan untuk mengejar ambisi, tetapi juga untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri.
Konsekuensi dari Keegoisan
Awalnya, keegoisanku bersifat kolosal; melumpuhkan ancaman dari luar. Namun kini, aku paham—dalam perjalananku, banyak hal yang bisa kuhadapi lebih baik dengan kejujuran. Dia hanya butuh validasi. Saat ini, aku telah sadar. Aku Sang Egois, butuh lebih egois lagi dalam berperilaku—not untuk mendapatkan validasi atau pengakuan, tetapi karena aku mau dan aku suka melakukan itu.
Bersamaan dengan kesadaran ini, aku mulai menemukan kekuatan untuk tidak lagi terjebak dalam pengakuan orang lain. Dari perjalanan ini, aku menyadari bahwa yang terpenting adalah keinginan untuk berubah, mengambil risiko, dan bertanggung jawab atas setiap tindakan yang kuambil. Gencarnya pengelolaan diri ini membawaku pada level yang lebih dalam dari kemandirian.
Keberanian untuk menjadi egois tidak lagi diperlihatkan dengan kebebasan semu. Kini, itu menjadi manifestasi dari kontrol diri. Melalui keegoisan ini, aku menemukan diriku; sebuah perjalanan yang bukan sekadar untukku, tetapi juga bagi mereka yang berbagi perasaan yang sama. Tanpa kesadaran, aku tidak akan pernah mencapai batasan yang lebih tinggi. Sekarang, aku tidak hanya bertindak egois demi kepuasan, tetapi komitmen ini adalah sebuah proses—kedewasaan dalam menjalani hidup.
Kebangkitan Sang Egois
Setiap perjalanan dimulai dari langkah pertama. Saat aku menggenggam keyakinan ini dengan kuat, keegoisan bukan semata egoisme, tetapi sebuah panggilan untuk membebaskan diri dari tuntutan dan ekspektasi. Dalam menyambut kebangkitan Sang Egois, saat ini adalah waktu yang tepat untuk bertransformasi. Jika keegoisan ini mampu memeluk diri—di situlah perjuangan sejati dimulai.
Sebagai seorang manusia, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Banyak orang yang terjebak dalam labirin rasa ingin tahu akan arti hidup, seperti yang disampaikan Albert Camus. Dalam pemikirannya yang mendalam, Camus menjelaskan absurditas keberadaan manusia—bahwa hidup tidak selalu berarti dan dapat dipahami. Namun, dalam ketidakpastian ini, kita memiliki pilihan untuk memberi makna pada kehidupan kita sendiri.
Jalan menuju kedamaian ini dimulai dengan pengakuan bahwa kehidupan adalah perjuangan—perjuangan dengan diri sendiri. Hal ini membawaku kembali ke titik di mana aku harus menerima bahwa ego, meski tersembunyi, harus dirangkul untuk memahami esensi. Seperti lirik lagu yang tak terucapkan, menjadi egois bukan berarti membuang orang lain, melainkan menghangatkan hati dan jiwa yang kadang terabaikan. Kamu dan aku sama; siapa pun kita, memiliki hak untuk menjadi egois dengan cara kita sendiri.
Di sinilah perjalanan Sang Egois berlanjut. Setiap langkah, selalu ada cerita yang bisa dibagikan—dan setiap cerita, akan memberi pelajaran. Kini, ketika aku menatap cermin, aku tidak hanya melihat monster, tetapi juga seorang pejuang sejati, melangkah ke depan dengan kepercayaan diri dan kedamaian. Kebangkitan jiwa Sang Egois adalah momen ketika aku memahami bahwa aku adalah penentu nasibku sendiri. Dengan begitu, aku siap menghadapi setiap tantangan hidup.
Kini, aku bangkit—dari kegelapan menuju cahaya yang lebih baik, memeluk keegoisan ini seraya memperkuat jiwaku, menjadi lebih sadar dan bertanggung jawab. Sebab, di balik setiap kebangkitan ada ego, dan di balik setiap ego yang sehat, ada keinginan untuk mencintai—diriku dan orang-orang yang berbagi jalan yang sama. Ini adalah perjalanan, dan langkah-langkah kecil ini adalah bagian dari kisahku. Aku, Sang Egois, melangkah ke depan.