Aku adalah monster yang terperangkap di dalam jaring fokus yang membara, merengek penuh ambisi. Ketika jari-jariku terarah ke satu titik, saat buah pikiranku terfokus pada satu tujuan, aku menjadi tak tergoyahkan. Dalam duniaku yang terkurung, tiada suara yang lebih kuat dari suara hatiku yang berteriak, “Kejar terus! Jadilah yang terhebat!” Jika satu hal telah kuputuskan, aku akan mengejar itu sampai ke ujung dunia.
Proses ini membawa dampak yang tak terhindarkan; terkadang, aku tak peduli pada sekelilingku. Orang-orang di sekitarku serupa bayangan, memudar dalam lembaran cerita yang kutulis sendiri. Setiap derap langkahku melawan kerumunan, menantang norma yang ada. Hal ini terjadi karena aku adalah sang aku yang egois, yang merindukan kematian yang indah—keindahan dalam pencapaian yang bersumber dari perjuangan. Dalam perjalanan ini, ada kalanya aku tak dapat mengendalikan diriku. Begitu terfokus pada satu buruan, aku dapat menunda atau bahkan memberhentikan tugas lain.
Ada kalanya aku terpaksa berbohong, bukan untuk menyakiti, tetapi untuk menyelamatkan diri dari masalah di kemudian hari. Di sinilah sang aku, menginginkan kesempurnaan, melukiskan targetku, mengorbankan banyak hal demi mencapai tujuan. Seakan-akan duniaku hanyalah sebuah panggung, di mana akulah bintang utama dalam drama ambisi ini. Namun, di balik semua itu, ada gesekan batin yang lebih dalam—aku sering merasa perjuangan ini mengabaikan tugas-tugas lain yang seharusnya ada dalam hidupku. Saat egoku mengejar satu hal yang ingin kucapai, seluruhnya terasa seakan terbalik.
Frustrasi melanda ketika obyek yang kutuju tiba-tiba meleset dari pandangan; ketidakmampuan mengendalikan keinginan itu membuatku semakin terpuruk. Dengan perasaan yang bertumpang-tindih, aku terjebak dalam siklus keinginan yang menguras energi. Kini, dalam hening malam, aku terpaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa aku bukanlah sosok multitasking. Setiap kali otakku berusaha menghadapi terlalu banyak pemikiran dalam waktu yang sama, aku berjuang untuk menyelesaikan satu hal sebelum beralih ke yang lainnya.
Dalam situasi seperti ini, aku kadang belepotan ketika menjelaskan sesuatu. Bukan karena aku tidak mengerti, tetapi karena fokusku terbagi atau terganggu. Kata-kata yang seharusnya mengalir lancar menjadi buntu, menyumbat jalan komunikasi. Ketika tiba saatnya aku harus berbicara, kenyataan yang pahit membuktikan bahwa meski aku paham, informasi yang kupahami sering kali bercampur aduk—tidak ada kepastian untuk menyampaikannya. Ada kalanya, orang lain yang tak mengenalku dengan baik akan menemui kebingungan di wajah mereka, mereka yang gagal mencerna cara berpikirku.
Satu hal ini menyukarkan diriku untuk menjadi penengah, terutama ketika hubungan itu melibatkan beberapa pihak. Aku menemukan kesulitan dalam mencari cara untuk menjelaskan atau mendiferensiasi sudut pandang. Ada waktunya ketika otaku tampak tidak fokus dengan masalah, sehingga tidak mampu merespons dengan baik. Namun, ketika aku sudah terfokus pada satu tujuan, perhatian akan mengalir dan mengawasi segala yang dilakukan. Seakan mengabaikan hal lain, “apapun akan aku raih!” terukir dalam jiwa.
Sulit Menyusun Kata
Aku selalu saja dipenuhi ambisi, seolah raga ini telah terikat pada tujuan yang tiada henti. Setiap kali masalah lain muncul di tengah perjalanan rencanaku, aku dengan cepat segera melakukan tindakan, terburu-buru melangkah—hanya untuk menghindari perseteruan yang dapat mengganggu fokus. Tanpa berpikir panjang, kadang aku lebih memilih mengatakan “iya” demi menenangkan ketegangan, bahkan ketika aku tidak yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi. Otakku terlalu lelah untuk memikirkan hal lain.
Dalam keadaan terdesak, ketika ditodong pertanyaan atau tantangan yang tak terduga, kata-kataku sering kali tersekat. Lisan dan otak ini seakan terbelah; tidak ada koneksi yang sempurna. Di tengah kegugupan, sulit untuk merangkai kata-kata yang tepat. Jika aku harus berbicara, semakin rumit situasinya—aku terjebak dalam labirin pikiran yang selalu tidak stabil. Hal ini terus berlanjut seolah menjadi kutukan bagi diriku; kekacauan menunggu di setiap sudut, sulit untuk menyampaikan apa yang sebenarnya aku pikirkan.
Menghadapi kenyataan bahwa perasaanku penuh ambisi, aku merenungi besarnya pengorbanan yang telah kulakukan. Kebanyakan orang tidak memahami betapa beratnya tanggung jawab yang kuemban. Mencari cara yang tepat untuk berkomunikasi menjadi sebuah tragedi tersendiri; bahkan ketika waktu berlalu bertahun-tahun dalam dekat, sering kali aku merasa terasing dari orang-orang di sekelilingku. Ketidaktahuan tentang maksud dan tujuan satu sama lain menciptakan jarak yang semakin dalam. Dalam hal ini, aku mencoba untuk menjadi penengah, tetapi tanpa keberhasilan.
Menggali lebih dalam, aku tertarik pada refleksi pemikiran Nietszche tentang keberanian sejati—bagaimana kita harus berani menghadapi kegelapan di dalam diri kita sendiri untuk benar-benar menemukan makna. Di saat-saat penuh kesedihan ini, aku berjuang melawan selubung nihilisme yang melanda jiwaku. Setiap elemen dalam hidupku membawa tantangan tersendiri, memahami bagaimana ambisi dapat menjadi langkah baik dan langkah buruk sekaligus. Mei selama pencarian ini, kegagalan sering menjadi kawan dekat; pedang bermata dua yang menggariskan ambisi.
Edogawa Rampo pernah menggambarkan kegelapan sebagai bagian inheren dari jiwa manusia melalui karyanya. Dalam setiap misteri, dia merangkai elemen ketegangan dan ketidakpastian yang berfaedah. Kegelapan di dalam jiwaku berkepanjangan; ambisi dan ego ini membuatku terjebak dalam suasana mencekam. Hasil-hasil itu menerjemahkan risiko; percikan dalam pencarian yang menyakitkan akan hasil yang memuaskan.
Sementara Albert Camus menyoroti absurditas dalam hidup dan hakikat kehidupan itu sendiri—bahwa kita sering kali berjuang melawan hal-hal yang tidak bisa dan tidak akan pernah kita pahami. Dia mengedepankan konsep bahwa, meskipun ada ketidakpastian, kita harus menemukan kebahagiaan dalam perjuangan itu karena kita semua mencari arti di dalam absurditas. Ketika aku merasa tertekan dalam mengusahakan sesuatu, pandangan tersebut menjadi pengingat bahwa tidak bertujuan untuk mencapai tujuan semata, tetapi juga menemukan pelajaran dalam perjalanan itu.
Melalui pemikiran dari ketiga tokoh besar ini, aku belajar bahwa keberanian terletak dalam menghadapi sisi gelap dari ambisiku. Dan di sinilah aku—sang aku, monster yang setia pada ambisi, tetapi di saat yang bersamaan harus melawan kekeliruan yang menyertai ambisi itu. Itulah keindahan dalam kegelapan, saat aku terpaksa memasuki relung hatiku sendiri, menemukan kebenaran yang tersembunyi, dan menggali potensi yang terpendam di bawah tekanan.
Aku tak pernah membiarkan fokusku padam—sebaliknya, ketika kutemukan jalan yang paling baik dalam menghadapi diri sendiri, aku akan terus berjuang menuju visi yang ku ingin capai. Menggunakan setiap detak jantung sebagai pengingat untuk tetap hidup—agar keinginan dan ambisi ini mengikuti jalan yang benar. Ambisi itu, meski cenderung membawa kesedihan dan kegalauan, adalah kekuatan. Menghadapi jarak yang semakin menjauh adalah ujian tersendiri; dan aku tahu, tidak ada jaminan bahwa keberhasilan selalu menanti di ujung jalan.
Kegelapan dalam diriku adalah bagian dari perjalanan; ambisi dan ego yang beradu menjadi bagian dari eksistensi. Dan di tengahnya, ada harapan yang ku inginkan, harapan yang bersemarak dalam pelukan kegelapan—cahaya yang mengeluarkan harapan di ujung terowongan, mengedipkan selayang pandang untuk membimbingku menuju masa depan yang lebih cerah. Dalam semua kebisingan dan kepanikan ini, aku belajar untuk merangkul ambisi bukan hanya sebagai sebuah keinginan, tetapi juga sebagai bagian dari hidupku yang harus kutemukan dan emban.
Akhirnya, aku akan berusaha untuk mengambil setiap kata yang sulit, merangkainya meski terbelit, lalu menyampaikannya, bercahaya dengan keindahan harapan. Mungkin, dalam perjalanan panjang ini, aku akan menemukan ketenangan di antara keindahan sederhana—bahwa dalam setiap langkah, siapapun yang berjuang melawan ketidakpastian, tetap berhak mendapat makna dalam absurditas perjalanan ini.