aku ingin ketenangan

Aku Menginginkan Ketenangan

Di sudut sunyi hatiku, terpendam sebuah keinginan yang sering kali terabaikan. Di tengah keributan dunia yang tak ada habisnya, di mana masalah bertumpuk bagaikan reruntuhan gedung di tengah gempa, aku merindukan ketenangan. Seakan lembaran waktu terhenti, di tempat aku bisa menarik napas dalam-dalam tanpa tekanan hidup yang menghimpit. Ketenangan bukan sekadar kelemahan, seperti yang sering dipandang oleh banyak orang, melainkan sebuah keinginan luhur untuk menemukan kembali diri yang hilang di antara hiruk-pikuk kehidupan. Namun, dalam masyarakat yang mengagungkan kekuatan dan keaktifan, merindukan kematian sering kali dianggap taboo, sebuah hasrat yang diabaikan dan bahkan ditertawakan.

Dalam rehah pemikiran, mungkin terlintas dalam benakku: mengapa ada hal yang tampak begitu manusiawi namun dikecam oleh masyarakat? Membicarakan kematian seolah membuka tabir kelam, bagaikan menyingkap rahasia yang lebih baik tersimpan rapi. Albert Camus, seorang filsuf dan penulis, pernah berkata, “Di balik setiap kedamaian terdapat jeritan yang tidak terdengar.” Jeritan itu adalah aku; jeritan yang tak terucap yang menyiratkan keresahan mendalam. Dalam keheningan, aku menemukan makna dari keinginan ini—keinginan untuk mati rasa, untuk sejenak melarikan diri dari kenyataan yang sering kali menyakitkan.

Ketenangan yang Kuinginkan

Ketenangan yang kuinginkan melebihi sekadar keheningan fisik. Ia adalah sebuah oasis di tengah gurun kehidupan yang gersang. Saat tantangan dan rintangan menghadang, ketenangan seakan menghanyutkan kita ke alam lain—sebuah dunia di mana semua beban hidup ini terasa lebih ringan, seperti dedaunan berjatuhan di musim gugur yang anggun. Di sinilah aku mencari pelarian, tidak dengan niatan untuk mengakhiri segalanya, melainkan untuk menemukan kembali diri yang telah hilang.

Kehidupan kadang terasa seperti labirin yang kita telusuri tanpa tahu kapan atau di mana kita akan menemukan jalan keluar. Setiap belokan membawa kita pada rasa cemas, dan ujung jalan seakan tidak pernah terlihat. Dalam kepenatan ini, kematian bukanlah ujian yang mencekam, melainkan sebuah rekonsiliasi—sebuah kesempatan untuk meresapi ketidakberdayaan kita sebagai manusia. Friedrich Nietzsche berbicara tentang “kehendak untuk berkuasa,” tetapi di dalam jiwaku, ada keinginan untuk beristirahat dari kekuatan yang tidak pernah kuhendaki. Ketenangan bukanlah tanda kelemahan; itu adalah penghormatan bagi diri sendiri.

Menginginkan ketenangan bisa dianggap sebagai tindakan egois. Dalam sebuah dunia yang menuntut persepsi ideal dan produktivitas maksimum, ada saat-saat ketika kita merasa terasing dari diri kita sendiri. Kita terjebak dalam rutinitas tanpa henti hingga melupakan apa yang benar-benar kita inginkan. Seperti lirik puisi yang mengatakan, “Hidup ini adalah sebuah badai, dan aku sedang mencari tempat berteduh.” Ketenangan adalah tempat berteduh di tengah badai, tempat di mana kita bisa merenung dan menemukan makna yang lebih dalam dari hidup yang telah kita lalui.

Kematian, Cerminan Ketenangan

Namun, menginginkan kematian sebagai solusi sesungguhnya adalah refleksi dari kerinduan akan ketenangan. Berbicara tentang kematian dalam konteks ini bukanlah sebuah pengakuan bahwa hidup ini tidak berharga, melainkan sebuah pengingat akan betapa berharganya setiap momen yang kita miliki. Dengan kematian, ada pemahaman tentang batas, tentang kebutuhan untuk menyayangi hidup kita sebelum segalanya berakhir. Apa yang kita tinggalkan, siapa yang kita cintai, dan bagaimana kita mencintai adalah bagian dari warisan yang kita cipta.

Sebuah kutipan terkenal dari Camus menyatakan, “Banjir ide dan perasaan bersih utuh tidak selalu menggembirakan, tetapi ia selalu merangsang kita.” Dalam pengertian ini, kematian juga bisa menjadi pendorong kita untuk hidup sepenuhnya. Keterlibatan dalam hidup, tidak peduli seberapa sulitnya perjalanan itu, membawa kita pada gambaran yang lebih besar dari eksistensi kita. Melalui kesedihan dan kesulitan, kita diajarkan untuk menghargai kebahagiaan yang sederhana.

Masyarakat, dengan beragam normanya, sering kali menganggap pembahasan tentang kematian sebagai sebuah tabu. Ketika aku mengungkapkan kerinduan ini, bukanlah sebuah ungkapan putus asa, tetapi sebuah refleksi intim tentang pencarian ketenangan. Dalam pandangan masyarakat, keinginan untuk “beristirahat” sejenak dari segala beban ini dianggap egois dan tidak sensitif. Dan ketika perasaan ini disuarakan, sering kali direspon dengan tawa atau ejekan. Namun, siapa yang tahu bahwa di balik senyuman seseorang, ada rasa sakit yang terpendam?

Menikmati Hidup di Balik Kematian

Ketika segenap jiwa mendambakan ketenangan, mungkin harapan terbesar adalah untuk dapat mencintai dunia lagi dengan sepenuh hati. Cinta adalah elemen vital dalam mencari ketenangan. Ketika kita merindukan ketenangan, kita merindukan kedamaian dalam diri—sebuah ruang di mana kita dapat mencintai, merasakan, dan memberi tanpa batasan. Seperti yang dikatakan oleh puisi romantis, “Cinta adalah angin yang membawa harapan dan meredakan kesedihan,” mencintai dunia adalah jalan menuju ketenangan.

Ada subtansi yang dalam ketika seseorang mengekspresikan ingin menghidupkan kembali perasaan kepada orang lain—itu adalah keinginan untuk terhubung. Dalam kondisi di mana kemanusiaan terasa berjarak, mencintai adalah bentuk usaha untuk menjalin kembali jalinan yang telah longgar. Mati rasa menandakan penutupan hati, sedangkan cinta adalah pembuka jendela jiwa kita. Dalam keheningan malam, ketika bintang-bintang berkelap-kelip di langit, hatiku ikhlas berharap menemukan seseorang yang dapat membangkitkan kembali rasa hidup dalam diriku yang tengah terluka.

Tidak jarang, kita mengalami periode di mana perasaan melemah, di mana keinginan untuk tertawa, bercanda, dan berbagi momen menyenangkan hilang begitu saja. Di sinilah, perasan bahwa kita semua adalah makhluk yang merindukan saling memberi dan menerima cinta menjadi sangat jelas. Daya pikat kematian seolah menimbulkan tugasan untuk mengecami kebangkitan perasaan.

Mencintai Diri Sendiri Sebelum Mencintai Orang Lain

Sebelum kita bisa mencintai dunia, penting untuk kembali kepada diri kita sendiri. Mencintai diri adalah langkah pertama menuju ketenangan. Dalam perjalanan mencari ketenangan, kasih sayang terhadap diri sendiri adalah kunci. Filosof-filosof seperti Søren Kierkegaard berbicara tentang pentingnya mengenali diri, memahami bahwa perjalanan menuju ketenangan dimulai dari dalam diri kita sendiri.

Ketika kita mulai mencintai diri sendiri, lautan emosi negatif yang sebelumnya menghalangi dapat surut. Ini adalah saat di mana kita menemukan kembali makna hidup—bukan semata-mata menyakitkan atau berakhir dalam duka, tetapi penuh warna dari pengalaman dan perasaan yang berharga. Kita tidak perlu menyembunyikan keinginan kita untuk mati rasa, melainkan mengenali bahwa itu adalah proses pertumbuhan. “Kita tidak dapat mengenali cahaya tanpa merasakan kegelapan,” ungkap Nietzsche. Dalam konteks ini, kematian bisa diartikan sebagai gerbang untuk memahami dan merasakan kembali arti hidup.

Hal ini mengingatkanku pada momen-momen di mana aku menemukan keindahan dalam seni. Melalui lukisan, puisi, atau musik, aku menemukan kebangkitan jiwa yang tersesat. Seni menjadi, bagai aliran air yang menenangkan, mengangkat beban dan memberikanku ruang untuk bernafas. Layaknya seni, mencintai diri sendiri merupakan perjalanan panjang yang tak selalu mudah, namun penuh imbalan yang megah.

Kebangkitan

Menginginkan ketenangan di dunia yang penuh keributan bukanlah tindakan yang patut dicemooh, melainkan pengakuan akan kerentanan sebagai manusia. Setiap orang harus memiliki ruang untuk berefleksi, merenung sejenak dari kesibukan hidup sehari-hari. Kita berada di dunia ini bukan hanya untuk tinggal dan menjalani, tetapi untuk mencintai, merasakan, dan berkarya. Di balik keinginan untuk beristirahat dari kehidupan ada keinginan lebih dalam—untuk hidup dengan sepenuh hati, untuk mencintai dengan tulus, dan untuk mengukir jejak yang berarti bagi orang lain.

Dalam perjalanan ini, kita belajar bahwa kematian bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan sebuah keteduhan yang merelakan kita kembali ke pangkuan tenang. Aku menyadari bahwa merindukan ketenangan bukanlah pengakuan kekalahan, melainkan langkah menuju kebangkitan. Sekarang, saatnya bagiku untuk melangkah maju, membuka hati untuk merasakan cinta yang selama ini terpendam. Hal ini akan membawaku pada perjalanan bukan hanya untuk menemukan ketenangan, tetapi untuk mencintai dunia dengan segala keindahannya—karena, pada akhirnya, ketenangan adalah harapan.

Sang Aku

Aku adalah Manifestasi dari Kematian itu sendiri, manusia yang merindukan akan ketenangan dari sebuah kematian yang indah.

Catatan Terbaik

  1. Sebelum Segalanya Dimulai (39)
  2. Aku dan Topeng (36)
  3. Semuanya tentang Aku (31)
  4. Bunuh Saja Aku (29)
  5. Cinta Sang Aku yang Merindukan Kematian (28)
  6. Mencintai Manusia Romantisme (28)
  7. Manusia Penuh Drama (28)

Tentangku