Selamat datang di Catatan Kematian—tempat di mana kata-kata sering kali lahir dari luka yang dalam. Sebelum kamu membaca lebih jauh, aku ingin mengucapkan satu hal yang penting: ini bukan tempat untuk mencari jawaban, tapi tempat untuk merasa dimengerti.
Blog Merindukan Kematian tidak pernah ditulis untuk memotivasi siapa pun agar mencintai kegelapan. Ia lahir dari kesendirian, keheningan, dan frustasi yang tidak bisa selalu dijelaskan kepada dunia. Di sini, kamu tidak akan menemukan kalimat manis tentang pelangi setelah badai. Tapi kamu akan menemukan potongan-potongan jujur dari seseorang yang terus bernapas meski pikirannya berkali-kali menginginkan akhir.
Aku tahu betul—beberapa tulisan di sini mungkin terdengar menyedihkan, pahit, dan bahkan sedikit mengerikan. Tapi aku ingin kau tahu: aku menulis ini bukan untuk menyuruhmu menyerah, tetapi untuk mengatakan bahwa kamu tidak sendirian.
Tulisan Ini Tidak Indah, Tapi Nyata
Banyak dari isi blog ini adalah coretan yang tercipta pada pukul dua pagi. Di antara sunyi dan denyut kecemasan, aku menulis tanpa tujuan untuk mendidik, memotivasi, atau menjadi panutan siapa pun. Ini hanyalah catatan dari seseorang yang pernah terlalu sering bertanya, “Untuk apa semua ini?”
Kata-kata di sini bukanlah kutipan inspiratif, bukan petuah bijak, bukan kisah penyintas yang penuh harapan. Tapi mereka nyata. Mereka muncul dari titik-titik terdalam dalam pikiranku yang berisik—ketika dunia terlalu diam dan aku terlalu hancur untuk menyembunyikannya lagi.
Mungkin kamu yang membaca ini pernah merasa seperti itu juga. Mungkin kamu pernah duduk diam di kamar yang gelap, memandang langit-langit dan berpikir betapa kecilnya kamu di tengah semesta yang tak peduli. Jika iya, aku menulis ini untukmu.
Bukan Untuk Dibandingkan, Bukan Untuk Dijustifikasi
Satu hal yang sangat ingin aku tegaskan: aku tidak menulis blog ini untuk dijadikan pembenaran atau pembanding. Aku tahu setiap orang punya luka masing-masing. Aku tahu penderitaan tidak bisa diukur, tidak bisa dilombakan.
Tolong jangan jadikan tulisanku sebagai alasan untuk terus menyakiti diri sendiri, atau untuk berkata, “Lihat, dia juga merasa seperti ini, jadi wajar kalau aku juga begini.” Tidak. Kita semua punya cara masing-masing untuk bertahan. Ini adalah caraku. Menulis.
Aku tidak ingin menjadi cermin yang memperdalam lukamu. Aku hanya ingin menjadi pelukan yang tak terlihat. Kalau kamu sedang dalam fase tergelap, aku ingin kamu tahu: ada orang lain yang juga pernah berpikir untuk menyerah, tapi tetap menulis. Tetap mencoba.
Aku Tidak Ingin Mati, Aku Ingin Dimengerti
Meski judul blog ini Merindukan Kematian, bukan berarti aku benar-benar ingin mati. Keinginan itu—ya, pernah ada. Bahkan mungkin masih bergaung samar di belakang pikiranku. Tapi lebih dari itu, aku hanya ingin berhenti merasa sesak. Aku ingin berhenti menjadi aktor dalam hidup yang penuh topeng, tawa palsu, dan basa-basi tanpa isi.
Aku ingin dimengerti.
Dan kadang, ketika kamu tidak bisa menjelaskan perasaanmu ke orang terdekat—karena mereka akan menyuruhmu bersyukur, berdoa, atau tersenyum saja—maka menulis jadi satu-satunya cara untuk tetap waras. Maka blog ini menjadi tempat berlindung, semacam gua yang hanya aku tahu jalan masuk dan jalan keluarnya.
Jika Kamu Pernah Ada di Titik Terendah, Ini Untukmu
Aku tahu seperti apa rasanya bangun pagi dan berharap dunia tidak lagi ada. Aku tahu bagaimana rasanya makan sambil menahan muntah karena pikiranku tak bisa diam. Aku tahu bagaimana rasanya tertawa di depan orang lain, lalu menangis sendirian di toilet.
Aku tahu, dan itu sebabnya aku menulis ini: untuk kamu yang tahu juga.
Jika kamu pernah merasa sendiri, tidak cukup baik, atau terlalu rusak untuk dicintai—aku ingin bilang: kamu tidak sendirian. Tulisan ini bukan untuk menjatuhkanmu, tapi untuk menunjukkan bahwa rasa seperti itu pun pernah hidup dalam diri orang lain, dan dia masih di sini. Aku masih di sini.
Antara Jurang dan Kehampaan
Saat tulisan ini dibuat, aku masih berada di tengah. Tidak sedang bahagia, tapi juga tidak dalam kehancuran total. Aku ada di antara jurang dan kehampaan. Setiap harinya adalah upaya. Kadang aku menang. Kadang aku jatuh. Tapi aku masih di sini, dan mungkin kamu juga.
Aku tidak bisa menjanjikan akhir yang bahagia. Aku bahkan tidak bisa menjanjikan bahwa esok aku masih akan menulis. Tapi satu hal yang bisa aku janjikan: selama aku masih bernapas, aku akan terus mencoba menjadi jujur. Setidaknya di blog ini. Setidaknya dalam kata-kata ini.
Jika Suatu Hari Tulisan Ini Menjadi Lebih Ringan…
Mungkin suatu hari kamu akan membuka blog ini dan mendapati tulisanku mulai berubah. Nada-nada gelap mulai menghilang, paragraf-paragraf mulai diisi dengan hal-hal yang lebih ringan, lebih damai. Jika saat itu tiba, ketahuilah: aku tidak sedang pura-pura bahagia, aku hanya sedang menerima dunia dengan cara yang baru.
Dan itu mungkin akan terjadi. Karena hidup, meski tidak selalu indah, terus berjalan. Kadang aku lelah berjalan bersamanya. Tapi aku ingin tahu apa yang terjadi jika aku tidak menyerah hari ini.
Ini Adalah Catatan Frustasi, Tapi Juga Harapan
Jangan salah sangka. Di antara semua catatan frustasi dan keputusasaan ini, ada sebutir kecil harapan. Ia tidak berbentuk besar. Ia tidak menonjol. Tapi ia ada. Ia muncul di sela-sela kalimat yang mungkin terlihat gelap, tapi jika kau baca pelan-pelan—kau akan tahu bahwa aku masih ingin bertahan. Masih ingin hidup.
Dan mungkin kamu juga.
Mungkin kamu membaca tulisan ini karena sedang merasa tenggelam. Jika begitu, aku harap ini bisa menjadi pelampung kecil. Aku tahu ini tidak bisa menyelamatkanmu sepenuhnya. Tapi setidaknya, bisa menjadi tanda bahwa kamu tidak sendirian di laut yang sama.
Kita Semua Merindukan Kematian Paling Indah
Nama blog ini tidak datang tanpa alasan. Merindukan Kematian adalah metafora—tentang keinginan untuk mengakhiri rasa sakit, bukan hidup itu sendiri. Tentang harapan akan sebuah kematian yang bukan tragedi, tapi kelegaan. Tentang keinginan untuk beristirahat dari dunia yang terlalu keras untuk hati yang terlalu lembut.
Tapi di sisi lain, aku juga tahu: kita semua, pada akhirnya, masih berjuang karena ada secercah hal yang belum bisa kita tinggalkan. Entah itu harapan kecil, seseorang yang kita cintai, atau bahkan sekadar rasa penasaran apakah besok akan lebih baik.
Dan untuk semua itu, aku menulis.
Terima Kasih Telah Membaca
Terima kasih telah masuk ke dunia ini. Dunia yang mungkin tidak menyenangkan, tapi jujur. Jika kamu bertanya kenapa aku tidak berhenti menulis? Jawabannya sederhana: karena ini satu-satunya cara aku tahu bahwa aku masih hidup. Ini adalah catatan bahwa aku pernah ada, bahwa aku pernah berpikir, merasa, mencinta, dan kecewa.
Kamu yang membaca ini juga ada. Kamu pernah merasa. Kamu pernah sakit. Dan kamu masih di sini.
Maka, dengan segala luka dan kepedihan, aku ingin mengatakan satu hal:
Kita masih hidup. Dan itu, meskipun berat, sudah cukup luar biasa.
Salam hangat,
Penulis
Jika kamu sedang merasa benar-benar terpuruk, tolong hubungi profesional, bicaralah pada teman terdekat, atau cari bantuan. Tulisan ini bukan pengganti terapi atau pertolongan profesional. Ini hanyalah pelukan dari seseorang yang tahu rasanya berada di ujung tali.