seperti anak kecil

Anak Kecil Tanpa Identitas

Aku seperti anak kecil yang terjebak dalam dunia orang dewasa. Mudah sekali terpengaruh, selalu mencari sensasi, dan termakan oleh hasrat untuk merasakan kebahagiaan yang sebenarnya hanya ilusif. Tanpa identitas yang jelas, aku berlayar tanpa arah, dengan setiap pengalaman yang kulalui seolah mengintimidasi dan menyiksa sekaligus. Dalam pencarian ini, aku tak peduli dengan hasilnya—apakah itu akan membuatku sukses atau justru hancur lebur. Yang kuinginkan hanyalah satu: sensasi.

Sensasi, kesenangan, dan kebahagiaan berujung kehampaan. Sayangnya, ini adalah permainan berbahaya yang membuatku menjerumus ke dalam kegelapan. Seperti seorang anak kecil, terkadang aku berusaha menjadi orang lain untuk merasakan setiap perasaan yang mereka alami. Namun, di balik semua ini, aku merasa hilang dan tak tahu siapa diriku yang sebenarnya.

Seperti Anak Kecil

Mungkin ada yang berpikir bahwa melihat dunia dengan cara yang belum ternoda adalah suatu hal yang menggembirakan. Namun, bagi aku, itu adalah kutukan. Melihat dengan cara yang naiif, tanpa dasar yang kuat, mengajarkanku bahwa siksaan itu pun tak kalah mengerikan. Seorang anak kecil kerap melakukan kesalahan karena kurangnya pengalaman, dan aku merasa terperangkap dalam pola siklus yang sama.

Ketika aku mencoba untuk merasakan apa yang orang lain rasakan—kesenangan mereka, kebahagiaan mereka—aku hanya menciptakan ilusi untuk diriku sendiri. Dengan mencoba meniru tindakan orang lain, aku berharap bisa menuai hasil yang sama. Namun, sehabis itu, akan selalu ada penyesalan yang menyelubungi diriku seperti bayang-bayang gelap. Rasanya semua ini salah; bukan diriku yang melakukan hal-hal itu, tapi aku hanya meniru orang lain. Seakan-akan aku hidup dalam topeng tanpa tahu siapa yang sebenarnya berada di baliknya.

Kebingungan dan Keterasingan

Ada saat-saat ketika perasaan kosong ini melanda, membuatku terjebak dalam kebingungan. Ketika sendirian, semua keraguan dan ketidakpastian datang menyerang. Emosi-emosi ini tidak bersahabat; mereka bak badai yang mendera jiwaku. Terkadang, aku berharap mendapatkan dorongan dari luar, sesuatu yang bisa membawaku untuk menentukan langkah ke depan. Namun, dorongan itu tak pernah datang.

Aku merasa hidup dalam ketidakpastian, seolah semua pengetahuan dan emosi bertarung di dalam diri. Semua pengetahuan yang kuperoleh seakan hilang, tak berarti. Camus, dalam pandangannya tentang absurditas, mengungkapkan bagaimana kehidupan kadang-kadang tampak sia-sia dan tidak memiliki makna. Ketika aku terjebak di antara rasa ingin tahu dan keputusasaan, tampak sekali absurditas itu berlayar dalam kehidupanku.

Konsep Absurditas dari Albert Camus

Albert Camus menekankan bahwa manusia berjuang melawan absurditas—perjuangan yang tiada henti melawan kekosongan dan ketidakberartian. Dalam esai “The Myth of Sisyphus,” Camus menggambarkan sosok Sisyphus yang dihadapkan pada tugas yang tampaknya sia-sia; ia harus menggulung batu besar ke atas bukit, hanya untuk melihatnya mengguling kembali ke bawah. Dalam konteks ini, aku merasa seperti Sisyphus, berusaha meraih kesenangan dan kebahagiaan, tetapi justru terjerembab dalam kehampaan setiap kali.

Ketika aku berpikir tentang kehidupanku yang seolah tidak berujung, ketidakpastian menjadi beban yang menyakitkan. Rasa kesepian menghimpitku dalam kesunyian, di mana semuanya terasa tak berarti. Camus memberi tahu kita bahwa tidak ada jawaban pasti yang bisa membuat kita merasa nyaman dalam ketidakpastian ini. Justru dalam ketidakpastian itulah, kita dituntut untuk menciptakan makna kita sendiri. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa menciptakan makna dalam kehidupan yang tidak bisa kujelaskan?

Kebutuhan akan Validasi

Ada saat di mana aku merindukan validasi dari orang lain—seolah mereka adalah cermin yang akan memantulkan harga diriku. Kebutuhan ini menggerogoti jiwaku, membuatku merasa harus terus-menerus mencari pengakuan. Entah itu dari teman-teman, keluarga, atau bahkan orang asing sekalipun. Sebuah pemberian sekilas dari orang lain bisa menjadi bahan bakar, penggerak untuk melanjutkan langkahku yang goyah.

Namun, keganjilan dari semua ini adalah validasi yang kuterima tidak pernah membuatku merasa puas. Setiap kali aku mendapatkan pujian atau pengakuan, ternyata itu tidak lebih dari sementara. Ketika semua itu lenyap, aku kembali terjerumus ke dalam kehampaan. Dari situ, muncul pertanyaan yang semakin membuatku bingung: “Apakah aku hanya sekadar salinan orang lain, ataukah aku bisa menjadi diriku sendiri?”

Trauma dan Pencarian Diri

Mungkin semua ini berkaitan dengan trauma yang kutanggung. Setiap pengalaman menyakitkan yang kujalani serupa goresan yang membekas dalam jiwa. Trauma ini, yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah, menghanguskan lembutnya rasa percaya diri. Keterasingan yang kurasakan sering kali membuatku kembali hendak bersembunyi di balik topeng.

Dalam pencarian ini, aku merindukan sosok yang otentik; sosok yang tidak hanya sekadar mencari sensasi, tetapi juga memahami makna di balik setiap tindakan. Dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan dan keberadaan, aku menjadi semakin terjebak dalam diri sendiri.

Al-Ghazali dan Pemikiran Spiritual

Menghadapi semua pemikiran yang membingungkan ini, aku teringat pada pemikir Islam, Imam Al-Ghazali. Dalam karyanya “Al-Munqidh min as-Sad,” Al-Ghazali mempertanyakan keabsahan pengetahuan dan hakikat realitas. Dia menolak pengetahuan yang hanya berdasarkan pada logika dan filsafat, dan lebih memilih jalan spiritual untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan dan alam semesta.

Hal ini mengingatkanku bahwa mungkin aku perlu menemukan jalan spiritual di tengah semua keraguan ini. Mencari kebenaran yang tidak selalu bisa ditangkap oleh akal sehat, tetapi lebih kepada pencarian dalam diri. Al-Ghazali menunjukkan pentingnya menemukan makna dalam kehidupan yang terasa absurd dan sia-sia jika hanya didasarkan pada rasionalitas yang terbatas.

Dengan mengingat Al-Ghazali, aku merasa ada harapan untuk melanjutkan pencarian ini dengan cara yang berbeda—bukan lagi dengan mencari validasi dari orang lain, tetapi dengan membangun hubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan Sang Pencipta. Aku menyadari bahwa dalam pencarian makna, aku harus berani menghadapi ketidakpastian dan berhenti meniru orang lain.

Menghadapi Kehampaan

Dalam menghadapi semua kehampaan ini, aku akhirnya memutuskan untuk berhenti menyeret diri pada pengulangan yang sama. Ketika kesepian menyerang dan menggigit, aku mulai menulis—menyalurkan semua pikiran dan perasaan ke dalam kata-kata. Menulis menjadi pelampiasan untuk mengisi kekosongan, memberikan suara pada semua kerinduan dan kesedihan yang selama ini terpendam.

Buku catatan kecilku menjadi teman setia, tempat untuk mengungkapkan isi hati yang tak terucap. Setiap goresan pena adalah ruang untuk berbagi kisah—tentang rasa sakit, kesedihan, dan harapan. Dalam proses menulis, aku menemukan kejujuran yang tidak ada dalam semua sensasi yang telah kujalani. Aku melakukan refleksi, mencoba memahami kenapa aku merasa seperti anak kecil tanpa identitas.

Melalui tulisan, aku mencoba merenungkan segala sesuatu yang penting, menanyakan kembali hal-hal yang tampak absurd. Dalam setiap kalimat, aku mencari apakah ada makna yang bisa ditemukan. Setiap kata adalah perjalanan; dan mungkin, itu adalah awal dari penemuan diriku yang sebenarnya.

Kesedihan yang Berlanjut

Walau menulis membantu, ada kalanya kesedihan itu mengganggu yang lagi. Tak jarang aku terjebak dalam pikiran negatif yang menghantui. Rasa sepi, ditambah rasa bersalah karena tidak bisa puas dengan apa yang ada, menambah beban di pundakku. Terkadang, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, menyebabkan diriku selalu merasa kosong.

Daripada merasakan sedih yang mengalir dalam nadiku, aku memilih untuk menyembunyikannya di balik topeng—setidaknya untuk sementara waktu. Aku berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa aku mampu menjalani hidup ini seperti orang lain. Namun, di dalamnya, aku terus bertarung melawan perasaan hampa yang sulit diterima.

Dalam perjalanan ini, aku mencoba untuk melangkah maju, mencari diriku yang sejati. Melepaskan rasa takut dan kehampaan akan pengakuan eksternal, aku berusaha untuk mengasah diri, menemukan apa yang membuatku hidup dengan penuh makna. Dalam setiap kegelapan, aku berdoa memohon petunjuk, berharap bisa menerima diri apa adanya.

Seperti anak kecil, aku mungkin harus belajar untuk tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar diriku. Menerima bahwa hidupku tidak bisa dibandingkan dengan orang lain, dan menemukan cara untuk mengisi kekosongan itu dengan makna yang kubangun sendiri. Walau perjalanan ini penuh dengan tantangan, aku bertekad untuk mencari jalanku, menemukan jati diri di balik semua keraguan dan kesedihan.

Aku ingin menjalani hidup dengan lebih otentik, di mana setiap langkah diambil dengan penuh kesadaran dan keberanian. Mungkin aku tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari perasaan hampa ini, tetapi aku tahu bahwa pencarian ini adalah bagian dari perjalanan menuju diriku yang sejati. Dalam semua keabsurdan yang ada, aku berharap bisa menemukan secercah harapan dan keberanian untuk terus melangkah ke depan, menghadapi segala tantangan dengan tangan terbuka.

Sang Aku

Aku adalah Manifestasi dari Kematian itu sendiri, manusia yang merindukan akan ketenangan dari sebuah kematian yang indah.

Catatan Terbaik

  1. Sebelum Segalanya Dimulai (39)
  2. Aku dan Topeng (36)
  3. Semuanya tentang Aku (31)
  4. Bunuh Saja Aku (29)
  5. Cinta Sang Aku yang Merindukan Kematian (28)
  6. Mencintai Manusia Romantisme (28)
  7. Manusia Penuh Drama (28)

Tentangku