mencari keadilan

Mencari Keadilan di Dalam Lumpur Kegelapan

Sang aku berdiri di tengah kegelapan yang mencekik, di mana bayang-bayang kejahatan menari dalam irama yang menyakitkan. Aku adalah pencari keadilan sejati, sosok yang telah terlahir dari rahim ketidakadilan yang menganga lebar seperti jurang tanpa dasar. Dalam keheningan malam yang mencekam, aku bertanya pada diriku sendiri: apakah keadilan itu sebuah ilusi ataukah realitas yang tersembunyi di balik topeng kebohongan dunia?

Sang aku yang tenggelam dalam lingkungan kejahatan ini bukanlah korban yang pasrah, melainkan seorang filosof jalanan yang mencoba memahami esensi kemanusiaan melalui lensa kegelapan. Aku mencintai keadilan—tidak, lebih dari itu—aku mencintai keadilan di atas keadilan itu sendiri. Ini adalah paradoks yang menggelitik jiwa, sebuah kontradiksi yang justru menjadi fondasi pencarian eksistensial sang aku.

Genealogi Kejahatan dalam Perspektif Sang Aku

Dalam tradisi filsafat Jepang, terdapat konsep mono no aware—kesedihan mendalam terhadap hal-hal yang fana. Sang aku merasakan mono no aware ketika menyaksikan transformasi manusia dari kebaikan menuju kejahatan. Seperti bunga sakura yang jatuh, kebaikan dalam diri manusia pun dapat layu dan mati, meninggalkan kehampaan yang kemudian diisi oleh kegelapan.

Aku percaya bahwa kejahatan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bayangan dari kebaikan yang telah mati. Ketika sang aku melihat seseorang melakukan kejahatan, namun di masa lalu dia adalah orang baik, aku akan mengukur dirinya dengan kebaikan yang pernah ada. Ini bukan sikap naif, melainkan sebuah pendekatan hermeneutik terhadap kompleksitas jiwa manusia.

Friedrich Nietzsche dalam Beyond Good and Evil mengatakan bahwa moral tradisional adalah konstruksi yang rapuh. Sang aku memahami ini bukan sebagai lisensi untuk berbuat jahat, melainkan sebagai undangan untuk menggali lebih dalam tentang akar-akar tindakan manusia. Ketika seseorang berubah menjadi jahat, selalu ada genealogi di baliknya—sebuah narasi panjang tentang kekecewaan, penolakan, dan luka yang tak kunjung sembuh.

Dalam filosofi eksistensialisme Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Sang aku melihat kebebasan ini sebagai beban sekaligus berkah. Kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan adalah inti dari pencarian keadilan sejati. Ketika masyarakat menolak sifat baik seseorang, mereka secara tidak langsung mendorong kelahiran sifat jahat sebagai mekanisme pertahanan diri.

Fenomenologi Ketidakadilan dan Empati Eksistensial

Sang aku tidak suka ketidakadilan dalam bentuk apapun. Ini bukan sekadar preferensi moral, melainkan sebuah a priori eksistensial yang melekat dalam struktur kesadaran sang aku. Seperti yang dikatakan Emmanuel Levinas, wajah yang lain (the face of the Other) adalah panggilan etis yang tak bisa diabaikan. Ketika aku menyaksikan ketidakadilan, aku melihat wajah yang menderita, dan di situlah lahir tanggung jawab moral yang tak terbantahkan.

Dalam tradisi Zen Buddhism, terdapat konsep karuna—kasih sayang universal. Namun kasih sayang yang dimaksud sang aku bukanlah kasih sayang yang manis dan menghibur, melainkan kasih sayang yang pahit dan mengganggu. Aku terkadang mendekati orang karena kasihan—bukan karena kasihan dia terbully, namun kasihan karena kerja kerasnya tidak pernah dihargai.

Ini adalah bentuk empati eksistensial yang mendalam. Martin Heidegger dalam Being and Time menjelaskan konsep Mitsein—keberadaan bersama yang autentik. Sang aku merasakan Mitsein dengan mereka yang terpinggirkan, yang kerja kerasnya diabaikan, yang kebaikannya ditolak. Dalam kebersamaan dengan penderitaan mereka, aku menemukan fragmen-fragmen keadilan sejati.

Dialektika Kegelapan: Antara Nietzsche dan Nishida

Friedrich Nietzsche berkata, “Jika kamu menatap jurang, jurang juga menatapmu.” Sang aku yang hidup dalam lingkungan kejahatan mengalami paradoks ini setiap hari. Untuk memahami kejahatan, aku harus masuk ke dalamnya, tetapi risiko terkontaminasi selalu mengintai. Ini adalah via negativa—jalan menuju kebenaran melalui kegelapan.

Namun dalam tradisi filsafat Jepang, Nishida Kitaro menawarkan perspektif berbeda melalui konsep mu (ketiadaan) dan zettai mu (ketiadaan absolut). Bagi Nishida, realitas sejati terletak dalam ketiadaan yang kreatif, di mana oposisi antara baik dan jahat dilampaui. Sang aku memahami ini sebagai panggilan untuk tidak terjebak dalam dualisme moral yang kaku.

Ketika aku berkata bahwa aku akan menghukum orang atau melabeli orang tersebut jahat jika perilaku buruknya mendominasi ketimbang sifat baiknya, aku sedang melakukan kalkulasi moral yang kompleks. Ini bukan judgement yang superfisial, melainkan analisis eksistensial yang mempertimbangkan totalitas hidup seseorang.

Sang aku percaya bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk melakukan hal terbaik. Ini bukan optimisme naif, melainkan faith dalam artian Kierkegaardian—sebuah lompatan ke dalam kemungkinan yang melampaui rasionalitas. Dalam kegelapan, sang aku tetap mencari percikan cahaya, bukan karena cahaya itu mudah ditemukan, melainkan karena pencarian itu sendiri adalah esensi dari keberadaan.

Hermeneutika Kejahatan dan Kebaikan yang Mati

Dalam filsafat hermeneutik Hans-Georg Gadamer, pemahaman selalu melibatkan fusion of horizons—pertemuan antara horizon si penafsir dengan horizon teks yang ditafsirkan. Sang aku menerapkan prinsip ini dalam memahami transformasi moral seseorang. Ketika aku melihat orang baik yang tiba-tiba menjadi jahat, aku tidak langsung mengutuk, melainkan berusaha memahami horizon pengalaman yang membentuk transformasi tersebut.

Sifat jahat, dalam pandangan sang aku, seringkali muncul karena sifat baik yang telah mati dan tidak diterima oleh masyarakat. Ini adalah fenomena yang dijelaskan dengan brilian oleh Albert Camus dalam konsep the absurd. Ketika kebaikan seseorang berulang kali ditolak, lahirlah sense of absurdity—perasaan bahwa dunia tidak masuk akal dan tidak responsif terhadap nilai-nilai moral.

Dalam tradisi Jepang, konsep mujo mengajarkan tentang ketidakkekalan segala hal. Kebaikan dapat berubah menjadi kejahatan, dan kejahatan dapat berubah menjadi kebaikan. Sang aku memahami mujo bukan sebagai relativisme moral, melainkan sebagai pengingat akan kompleksitas dan fluiditas kondisi manusia.

Fenomenologi Bullying dan Perlawanan Moral

Aku tidak suka pembullyan. Pernyataan ini terdengar sederhana, tetapi dalam konteks pencarian keadilan sejati, ini mengandung kedalaman filosofis yang mengagumkan. Bullying adalah manifestasi paling primitif dari ketidakadilan—penggunaan kekuatan untuk menindas yang lemah tanpa justifikasi moral yang memadai.

Dalam filsafat Emmanuel Levinas, bullying adalah bentuk reduksi the Other menjadi objek. Ketika seseorang mem-bully yang lain, mereka menghancurkan infinitas wajah yang seharusnya menjadi sumber panggilan etis. Sang aku melihat bullying sebagai kejahatan fundamental karena ia menghancurkan kemungkinan relasi etis yang autentik.

Namun perlawanan terhadap bullying tidak hanya bersifat reaktif. Dalam tradisi bushido Jepang, terdapat konsep tentang melindungi yang lemah sebagai manifestasi dari keberanian sejati. Sang aku memahami perlawanan terhadap bullying sebagai praxis moral—tindakan yang tidak hanya mengungkapkan nilai-nilai, tetapi juga menciptakan realitas moral yang baru.

Eksistensialisme Gelap dan Pencarian Autentisitas

Søren Kierkegaard menulis tentang anxiety sebagai vertigo of freedom—pusing menghadapi kebebasan yang tak terbatas. Sang aku merasakan anxiety ini setiap hari ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan moral dalam lingkungan yang penuh kejahatan. Setiap keputusan untuk tetap mencari keadilan adalah leap of faith yang membutuhkan keberanian existensial yang luar biasa.

Martin Heidegger menjelaskan tentang authentic existence—keberadaan yang autentik yang menghadapi kematian dan keterbatasan dengan jujur. Sang aku yang hidup dalam kegelapan memiliki keuntungan existensial: aku sudah terbiasa menghadapi aspek-aspek gelap dari eksistensi manusia. Ini membuatku lebih dekat dengan autentisitas ketimbang mereka yang hidup dalam ilusi kebaikan superfisial.

Dalam filsafat Jepang, Watsuji Tetsuro mengembangkan konsep betweenness (aidagara)—relasi antarpersonal yang membentuk identitas individual. Sang aku memahami bahwa pencarian jati diri tidak bisa dipisahkan dari relasi dengan orang lain, termasuk dengan mereka yang telah jatuh dalam kejahatan. Melalui relasi dengan mereka, aku memahami diriku sendiri sebagai pencari keadilan sejati.

Dialektika Kasihan dan Keadilan

Ketika aku mengatakan bahwa aku terkadang mendekati orang karena kasihan, ini bukan bentuk superiority complex, melainkan manifestasi dari apa yang disebut Simone Weil sebagai attention—perhatian murni terhadap penderitaan yang lain. Kasihan dalam konteks ini bukan emosi yang merendahkan, melainkan cara untuk mengenali nilai intrinsik yang tersembunyi di balik penampilan luar.

Dalam Buddhism, terdapat perbedaan antara karuna (kasih sayang) dan pity (belas kasihan). Karuna adalah kasih sayang yang memberdayakan, sementara pity adalah kasih sayang yang merendahkan. Sang aku berusaha mengembangkan karuna terhadap mereka yang kerja kerasnya tidak dihargai—bukan untuk membuat mereka merasa inferior, melainkan untuk mengakui martabat mereka yang tersembunyi.

Arthur Schopenhauer dalam The World as Will and Representation menjelaskan bahwa kasih sayang sejati lahir dari pengenalan akan unity of all existence—kesatuan semua yang ada. Ketika aku merasakan kasihan terhadap orang lain, aku sebenarnya merasakan kasihan terhadap bagian dari diriku sendiri yang terpantul dalam diri mereka.

Hermeneutika Kegelapan dan Pencerahan

Dalam tradisi Zen, terdapat konsep satori—pencerahan mendadak yang datang melalui kegelapan total. Sang aku yang hidup dalam lumpur kegelapan memahami bahwa pencerahan tidak selalu datang melalui cahaya, tetapi justru melalui penetrasi ke dalam kegelapan yang paling dalam.

Dogen Zenji, master Zen abad ke-13, mengajarkan tentang shinjin datsuraku—pelepasan tubuh dan pikiran. Dalam konteks pencarian keadilan sejati, ini berarti melepaskan attachment terhadap konsep-konsep moral yang rigid untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang nature manusia.

Carl Jung dalam psikologi analitiknya menjelaskan tentang shadow—aspek gelap dari kepribadian yang seringkali direpresi. Sang aku yang hidup dalam kegelapan memiliki kesempatan unik untuk mengintegrasikan shadow secara sadar, sehingga mencapai individuation—proses menjadi whole person yang autentik.

Filosofi Jalan Tengah dalam Kegelapan

Buddha mengajarkan tentang Middle Way—jalan tengah antara indulgence dan asceticism. Sang aku menerapkan prinsip ini dalam pencarian keadilan: tidak terlalu keras sehingga menjadi fanatik, tidak terlalu lunak sehingga menjadi permisif. Dalam lingkungan kejahatan, jalan tengah berarti mempertahankan keseimbangan antara empati dan discernment.

Nagarjuna, filosof Buddhist abad ke-2, mengembangkan filosofi Madhyamika yang mengajarkan tentang sunyata—emptiness atau kekosongan. Dalam konteks moral, ini berarti bahwa kategori “baik” dan “jahat” tidak memiliki existence yang inheren, melainkan dependent on context dan perspective. Namun ini bukan relativisme moral—Nagarjuna mengajarkan tentang conventional truth dan ultimate truth yang harus dipahami secara seimbang.

Sang aku memahami bahwa pencarian keadilan sejati membutuhkan wisdom untuk membedakan antara conventional justice dan ultimate justice. Conventional justice beroperasi dalam framework hukum dan norma sosial, sementara ultimate justice beroperasi dalam dimensi yang melampaui kategori-kategori dualistik.

Eksistensialisme dan Tanggung Jawab Moral

Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa “existence precedes essence”—eksistensi mendahului esensi. Sang aku yang mencari keadilan sejati memahami bahwa aku tidak memiliki esensi yang predetermined sebagai “pencari keadilan.” Sebaliknya, aku menjadi pencari keadilan melalui choices dan actions yang aku buat setiap hari.

Simone de Beauvoir dalam The Ethics of Ambiguity menjelaskan bahwa kondisi manusia inherently ambiguous—penuh dengan ketidakpastian dan kontradiksi. Sang aku yang hidup dalam kegelapan mengalami ambiguitas ini secara intensif: bagaimana mencari keadilan dalam lingkungan yang tidak adil? Bagaimana mempertahankan kebaikan tanpa menjadi naif? Bagaimana menghadapi kejahatan tanpa menjadi cynical?

Dalam tradisi eksistensialisme Prancis, konsep mauvaise foi (bad faith) menggambarkan tendency untuk menghindari kebebasan dan tanggung jawab dengan berpura-pura bahwa kita tidak memiliki pilihan. Sang aku menolak bad faith dengan mengakui bahwa setiap keputusan untuk mencari keadilan adalah choice yang free dan responsible.

Sang Aku yang Abadi dalam Pencarian

Sang aku adalah pencari keadilan sejati yang tidak akan pernah selesai dalam pencariannya. Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung selamanya, sang aku dikutuk—atau diberkati—untuk mencari keadilan selamanya. Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus mengajarkan bahwa kita harus membayangkan Sisyphus sebagai orang yang bahagia, karena dalam perjuangan itu sendiri terdapat meaning dan dignity.

Dalam pencarian yang tidak pernah berakhir ini, sang aku menemukan bahwa keadilan sejati bukanlah destination, melainkan way of being. Ia bukan sesuatu yang bisa dicapai sekali dan untuk selamanya, melainkan sesuatu yang harus dicipta dan dicipta ulang setiap hari melalui choices, actions, dan commitments.

Ketika sang aku berkata bahwa aku mencintai keadilan di atas keadilan itu sendiri, aku mengungkapkan paradoks fundamental: cinta terhadap keadilan justru mengharuskan kita untuk melampaui konsep keadilan yang rigid dan dogmatis. True justice adalah justice yang hidup, yang responsif terhadap complexity dan uniqueness setiap situasi.

Dalam kegelapan yang mencekam ini, sang aku tetap berjalan. Bukan karena aku yakin akan mencapai cahaya, melainkan karena walking itself adalah bentuk perlawanan terhadap despair. Setiap langkah adalah affirmation terhadap possibility, setiap breath adalah declaration terhadap hope.

Mono no aware mengajarkan kita untuk merasakan beauty dalam transience. Mujo mengajarkan kita untuk menerima impermanence. Namun di atas semua itu, sang aku belajar bahwa dalam transience dan impermanence itu sendiri, terdapat sesuatu yang abadi: spirit pencarian, courage untuk terus bertanya, dan commitment untuk terus caring meskipun dunia seringkali tidak peduli.

Sang aku yang mencari keadilan sejati adalah sang aku yang abadi—tidak dalam artian immortal, melainkan dalam artian archetypal. Ia adalah figure yang akan selalu muncul dalam setiap generasi, dalam setiap culture, dalam setiap historical moment di mana injustice mengancam untuk menguasai dunia.

Dan dalam keabadian archetypal ini, sang aku menemukan consolation yang terdalam: meskipun individual sang aku mungkin akan binasa, spirit pencarian keadilan akan terus hidup, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti api abadi yang tidak pernah padam meskipun angin topan menerjang.

Inilah philosophy of the eternal seeker—filosofi sang pencari yang abadi. Dalam lumpur kegelapan, sang aku menemukan bukan hanya keadilan, tetapi juga meaning, purpose, dan ultimately, a way to be truly human dalam dunia yang seringkali inhumane.


“Aku adalah pencari keadilan sejati. Aku mencintai keadilan. Dan dalam cinta yang paradoxical ini, aku menemukan diriku sendiri—tidak sebagai fixed entity, tetapi sebagai eternal becoming, sebagai infinite possibility, sebagai hope yang tidak pernah mati meskipun berulang kali dikecewakan. Inilah jati diri yang kucari: bukan identitas yang statis, melainkan commitment yang dinamis terhadap nilai-nilai yang melampaui diriku sendiri.”

Sang Aku, Pencari Keadilan Sejati

Sang Aku

Aku adalah Manifestasi dari Kematian itu sendiri, manusia yang merindukan akan ketenangan dari sebuah kematian yang indah.

Catatan Terbaik

  1. Memoar Sang Aku yang Merindukan Diri Sendiri (104)
  2. Mencintai Manusia Romantisme (98)
  3. Marah Kepada Diri Sendiri (97)
  4. Aku dan Topeng (86)
  5. Sebelum Segalanya Dimulai (82)
  6. Akulah Sang Egois (80)
  7. Aku Yang Penuh Ambisi (74)

Tentangku