absurditas

Bukti Aku Pernah Hidup

Aku adalah manusia yang sering kali kebingungan, terjebak dalam labirin pemikiran yang mendorongku untuk terus mencari cara bertahan hidup di dunia yang terasa semakin menyempit. Seperti yang pernah diungkapkan Albert Camus, “Hidup itu tidak punya makna, dan kita yang menciptakannya.” Namun, seiring berjalannya waktu, semua alasanku untuk hidup ikut lenyap, seolah dihisap oleh kegelapan yang menjadikan harapan terasa hampa. Entah kenapa, aku sering kali kehilangan arah, berjalan tanpa tujuan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang seolah tidak peduli padaku. Dalam setiap langkah yang kuambil, terasa ada kerinduan mendalam terhadap kematian, seakan ia adalah jawaban dari semua pertanyaan yang tak terjawab, dan sekaligus bukti bahwa aku pernah hidup, meski dalam kesunyian dan kehampaan.

Terjebak Dalam Kehampaan

Aku terjebak dalam tarian antara hidup dan mati, di mana setiap langkahku terasa begitu dekat dengan tepi jurang yang gelap. Kematian, bagi sebagian orang, adalah akhir, tetapi bagiku, ia adalah benang tipis yang menghubungkan setiap nafas yang kuhirup dengan ketidakpastian dan segala rasa sakit yang membebani puncak harapanku. Seperti yang dikatakan Friedrich Nietzsche, “Mereka yang memiliki alasan untuk hidup dapat menahan hampir setiap cara,” tetapi alasanku semakin samar, seakan tereduksi oleh absurdity yang meliputi kehidupanku. Dalam hari-hariku yang penuh kebingungan, kematian seolah menjadi teman setia yang selalu ada, mengingatkanku bahwa setiap momen berharga bisa saja menjadi yang terakhir, dan dalam keheningan malam, saat gelombang kesepian melanda, aku merenung tentang kedalaman makna kehidupan.

aku dan kematian

Siapa Aku?

Dalam lamunan yang sunyi, saat kegelapan menggelayut di sekelilingku, benang tipis antara aku dan kematian semakin terasa rapuh. Aku sering bertanya-tanya, apakah aku telah menjalani hidupku dengan sepenuh hati, ataukah aku hanya menunggu saat di mana benang tipis itu akan putus, menuntunku ke destinasi yang tak terhindarkan. Hidup ini terasa seperti ironi, di mana absurditas menjadikan setiap usaha tampak sia-sia. Dengan setiap detak jantung, aku menggenggam keinginan untuk menghapus semua rasa sakit, dan membiarkan kematian menjadi saksi bisu bahwa aku pernah ada, meski dalam kesunyian dan kehampaan yang terus mengikis keberadaanku. Setelah semua itu aku menemukan bahwa aku adalah pahlawan yang sudah jatuh dan menjadi monster.